Monday, May 31, 2004

NYARIS

Jam 6.30 WIB pagi. Aku buru-buru menyusun lembar-lembar fotokopian yang berserakan di atas meja. Tadi malam aku hanya membaca sebagian lantaran tugas yang menumpuk dari dosen yang paling santer dan paling doyan memberi tugas maupun bahan bacaan, Bu Irma, si bom waktu itu. Iya! Dosen berdisiplin militer yang selalu tepat waktu dan perfeksionis itu kadang lembut dan gurih tawanya; namun kadang bisa meledak-ledak amarahnya pada saat yang sama lantaran ada mahasiswa jahil yang kertas kerjanya dipenuhi tip-ex, karena ceroboh melakukan kesalahan. Puih! Dengar katanya:
“ Dalam melakukan pendiskripsian, baik deskripsi fisik maupun daftar jejakan, saya tidak menerima huruf-huruf dari mesin tik rusak hingga kertas kerja kamu berlubang atau tinta hitamnya memenuhi huruf. Lebih-lebih lagi keras kerja yang dipenuhi tip-ex!”.
Sambil berbicara begitu, telunjuk tangan kanannya akan mengacung-ngacung ke atas, sedangkan tangan kirinya diletakkan di belakang. Suaranya tegas menggelegar. Mengesalkan.

Menurut anak-anak angkatan atas, kini Bu Irma lebih santai dibanding masa lalu. Puih! Tetap saja mengesalkan. Itu kata anak-anak. Bagiku itu hal biasa-biasa saja. Soalnya, bapakku lebih gila lagi disiplinya. Lihat saja produknya, jauh darinya, aku jadi selebor berkompensasi. Kalau di depan bapak, mana aku berani!

Kadang aku menikmati kesukahatian, keseleboran, ketidakrapian dan hal-hal yang melanggar benteng-benteng disiplin itu. Tapi tak lama. Dasar-dasar yang ditanamkan bapak ternyata sudah membantu, menyatu dalam jiwa dan terwujud dalam sikap-sikaphidupku.

Seandainya kelak aku jadi dosen, apa boleh buat, sikap Bu Irma mungkin hanya cuillanya saja yang ingin aku tiru. Tehniknya, tugasnya yang selalu membuat mahasiswa terbirit-birit memanfaatkan waktu, dan disiplinnya. Tapi tidak suasana yang ia lahirkan, yang menimbulkan trauma bagi semua mahasiswa yang pernah mengecap sebagian hidup bermasanya: ketegangan. Mungkin aku akan lebih solider, tapi tetatap tegas. Tidak marah-marah. Hm, apa bisa ? orang seperti aku?

Aduh! Tujuh menit lagi jam 6! Aku berlari merebut kamar mandi. Lusi, teman se-kost-ku, tetangga sebelah kamar berputar kelimpungan terbengong-bengong. Dia baru bangun. Aku cengengesan menenteng handuk.

Brak! Uh, kenapa aku tak bisa menahan diri untuk tidak berlama-lama di kamar mandi. Rugi rasanya bila melewatkan waktu bersegar ini cepat-cepat. Aku menikmati setiap busa Zest biru yang harum di atas kulitku. Wanginya memenuhi ruang kecil kamar mandi itu. Kidung yang kunyanyikan tenggelam ditelan suara air yang mengucur dari keran.

Ups! Ajijigrik! Jam besar dirumah induk berdentang keras. Jam 6, nak…cepat…cepat…kataku dalam hati. Lusi yang menunggu di depan pintu kamar mandi tak mau mengambil resiko waktu aku menongolkan kepala. Ia menepi rapat ke tembok rumah induk yang berhadapan dengan kamar mandi. Takut terjadi accident yang tak diinginkan. Aku cengengesan lagi. Wajah bulat itu sungguh lucu dalam ekspresi bangun tidur.

Handuk kugantung sangat rapi di tempatnya. Tempat tidur kurapi kan sekali lagi, hingga tak ada kerut kemerut. Aku memastikan bahwa buku-buku di rak tak ada yang miring atau berdebu. Ya ampun…dalam suasana seperti dikejar setan ini aku masih sempat memikirkan tetek bengek semacam ini. Bawaan lahir ‘kali!

Kamar sudah ku sapu tadi pagi sebelum mandi. Well…sekarang tinggal dandan. Kutaburi badanku dengan purol menthol. Hm…panas menthol itu nyaman sekali rasanya. Sembarangan aku pilih pakaian kesukaanku. Aku tak peduli kombinasinya cocok atau tidak. Namun setelah kukenakan, aku puas sendiri. Aku mematut diri di depan cermin. Tersenyum sendiri.

Untuk yang kedua kalinya aku periksa hasil kerjaku tadi malam. Tugas Bu Irma harus sempurna! Dentang jam berbunyi sekali lagi. Jam 6 lebih 15 menit. Sepatu kukenakan. Kucubit pipi Eka yang masih terbuai dalam mimpi. Teman sekamarku itu menggeliat pelan. Dasar kebo! Masak ia tak terusik sedikitpun atas keributan-keributan yang kutimbulkan sepagi ini.

“Bye, babe…” kataku sambil berlari membuka pintu yang menghubungi daerah ‘kekuasaan ‘ kami dengan taman dan dunia luar. Pintu gerbang dari besi itu sudah tak terkunci lagi, berarti si Pinto sudah bangun. Tugas anak induk semangku yang satu itu memang itu setiap hari, menggembok dan membuka pintu pagar. Aku membuka pagar dengan cepat, menimbulkan derit yang khas.

Tak sampai 5 menit aku sudah sampai di trotoar jalanan yang mulai di penuhi asap knalpot kendaraan yang beseliweran. Ah! T46, segeralah datang….

Vrom…vrom…deru metromini merapat ke trotoar halte. Aku melompat lega. Bus itu penuh anak sekolah. Bangku paling depan, di sebelah supir, kosong. Akumau duduk di situ. Tapi seorang anak laki-laki lebih dulu menyerobot, mengambil kesempatan itu. Yah..aku harus puas bergelantungan seperti kebanyakan orang-orang ini, berhimpit-himpitan, di atas metromini yang berlari liar.

Jalanan sudah macet. Puff! Hilangkan kesempatanku untuk naik kereta pukul 7 kurang 10. Aku harus menunggu kereta berikut, 7 lewat 5 menit. Ah, Bu Irma! Bye…Aku mencari-cari alasan yang tepat agar tugasku nanti dapat diterimanya dengan senyum. Ah…jangan senyum. Tidak berekspresi saja sudah syukur. Tiba-tiba badanku menegang.

Oke! Aku harus berpikir positif agar tidak nervous. Setidak tidaknya aku akan bertemu cowok manis berambut ikal itu pagi ini. Cowok manis yang selalu naik kereta pukul 7 lewat 5. Aku kenal, tidak! Aku tahu cowok ini awalnya karena kami selalu naik dan turun kereta di stasiun yang sama, pada waktu yang sama. Mulai semester ini Fakultas Ekonomi pindah ke Depok. Sejak itu kereta lebih padat dari biasanya.

Biarkan aku bercerita tentang makhluk unik yang memiliki senyum menarik dan gaya yang asik ini. Mulanya aku memperhatikan gaya berpakaian yang sedikit beda di banding anak-anak cowok kebanyakan. Ia selalu memakai kaos dengan warna-warna pastel yang lembut, warna kesukaanku. Kaosnya berkrah. Jarang mengenakan celana jeans. Selama yang kutahu, jeansnya cuma ada dua, warna biru muda dan hitam. Selebihnya ia selalu memakai celana katun yang lembut, berwarna pastel juga. Tas ranselnya berwarna abu-abu dan selalu dikepit di tangan kanannya, tidak disangkutkan di bahu. Sepatu sandalnya berwarna hitam, dari kulit. Tali belakangnya diinjak seenaknya. Langkahnya tegap seperti ABRI, namun dalam gerak yang santai. Rambutnya yang selalu di potong pendek, ikal kemerahan. Sinar matanya tajam menantang. Bentuk hidungnya lucu, tinggi, namun membentuk lekukkan halus yang memberi kesan angkuh. Setiap kali melihat ke arahku, bibirnya berubah datar, membentuk garis bagus, senyum yang ditahan.

Awalnya aku tak peduli bila memperhatikan tingkahnya. Hampir semua anak yang rutin menanti kereta sering kuperhatikan tingkah dan geraknya, namun yang ini istimewa.

Suatu kali aku bercerita pada lupi & the gank. Berbagai rezeki’, ceritanya. Kami cekikikan, ngerumpi’in lirikan-lirikan maut cowok manis ini. Iya! Ia mulai curi-curi pandang. Kadang senyum dan ketawa sendiri, hanya beberapa meter dari kami. Cuma itu. Celoteh anak-anak mulai berkembang biak, menjurus ke hal-hal romantis. Iyalah….apalagi! mereka mulai menjodoh-jodoh kan aku dan cowok yang makin lama makin cute itu.

Aku yang mulanya cuek, diam-diam mulai memperhatikan lebih detil. Kurang ajar! analisa anak-anak benar juga. Aku bukan ada di alam mimpi. Semprul…semprul….senyumnya memang cuma untukku. Ia mulai rajin ke Kansas, kantin sastra, memperluas wawasan. Sialnya, aku tak pernah punya kesempatan atau keberanian lebih. Senyum pun aku tak berani. Aku cukup pemalu untuk melakukan movement; sedang cowok itu, meski tak gentar saling pandang, tetap tak melakukan perkembangan. Alhasil, aku cukup puas bisa melihat senyum manisnya.

Alamak! Tahu sendiri respoon Lupi & the gank.
“Alah, Pay…masak gitu-gitu aja. Cemen, lo, ah…payah! Move..dong, move..mana kegape’an,lo…”

Atau ledakan-ledakan yang ‘kena’ seperti,
“Wih…si Upay bener-bener jatuh cinta! Woi! Upay udah gede ..Upay puber!”

Sial memang; kenapa justru sudah semester lima begini aku baru mikirin makhluk dengan sebutan cowok. Biasanya aku memang mendapat julukan wanita penggoda, maksudnya, suka goda’in cowok-cowok yang suka kegedean rasanya. Tapi cuma sebatas itu. Kali ini…ehm,cuih!

“Pintu…pintu..” kenek kopaja berseragam biru itu berteriak-teriak. Suara lonceng kereta berdentang-dentang. Pintu palang kereta pelan-pelan turun. Jam 7 pagi. Wah..aku melompat turun dari kopaja, berlari ke stasiun. Orang-orang berteriak mengusirku. Tapi aku cuek. Kereta dari arah Manggarai, jurusan kota Bogor sebentar lagi mendekat. Dengan sukses akumenjejakkan kaki di trotoar stasiun Tebet. Kereta sudah berhenti. Penumpang-penumpang berebut naik. Kereta terlambat 10 menit! Alhamdulilah! Di gerbong paling belakang, pada detik-detik terakhir aku lompat masuk. Yes! Pintu kereta tertutup tepat di balik punggungku.

Ah, Bu Irma...here I come!


Blogged on 6:19 PM by Upay

|

Comments: Post a Comment

~~~