![]() |
||
sesat.. Monday, May 31, 2004 RUANG 635Aku terengah-engah menaiki tangga demi tangga di gedung 6. Tak lama, kudapati diriku ada di lantai 3 sekarang. Di lantai ini pastilah ruang kuliah itu, pikirku. Ada beberapa ruang yang masing-masing bernomor awal 63 dengan kertas jadwal berlaminating tertempel di pintu. Ruang-ruang itu mengelilingi tangga. Semua pintu yang terbuat dari kayu berwarna coklat itu tertutup. Tak ada suara yang kudengar selain langkah-langkah kaki dan hembusan nafasku sendiri. Aku diam sejenak mengamati ruang demi ruang dari tempatku berdiri. Di sisi sebelah kiri kulihat pintu kayu bernomor 635 sedikit terbuka. Lamat mulai kudengar suara seorang laki-laki menerangkan sesuatu. Itu pasti suara dosen. Dengan segera kudorong pintu perlahan. Suara gerit pintu menandakan bahwa engselnya perlu diminyaki. Lalu kulongokkan kepalaku ke dalam ruangan yang kira- kira berukuran 4 kali 5 meter. Lantainya terbuat dari marmer berwarna coklat. Meski tidak ada kotoran- kotoran berarti diatasnya, debu-debu yang menempel memastikan bahwa ruangan itu belum dibersihkan. Dinding di hadapanku terbuat dari bata coklat yang menonjolkan bentuknya yang persegi panjang. Di atas bata -bata itu ada jendela kaca sorong berwarna gelap yang dibuka sebagian agar udara luar dapat masuk. Di balik tembok itu ada teras yang dibatasi tembok bata lain yang serupa dengan tinggi hampir mencapai atap ruang itu. Dari situ cahaya dari luar dapat masuk, juga terlihat atap gedung 5 dan 7 . Daun – daun pohon palem bergoyang-goyang diterpa angin. Disebrang kanan terdapat tembok dengan jendela kaca sorong yang sedikit terbuka, teras, dan tembok dibelakangnya yang serupa dengan yang kulihat sebelumnya. Dinding sebelah kiri dan kananku terbuat dari tripleks bercat putih. Disebelah kiri tertempel alat pengatur kipas angin yang berfungsi menghidup dan mematikan serta mengatur kecepatan kipas angin yang ada dilangit –langit. Alat pemutarnya sudah hilang. Diruang itu ada bangku-bangku kuliah dari kayu berwarna coklat. Sederetan bangku-bangku memenuhi baris paling belakang. Pada bangku ketiga dari kiri duduk seorang gadis berbaju ungu,celana panjang hitam dan berjilbab sedang asyik menulis. Di bangku sebelah kanannya teronggok tas ransel berwarna hitam dengan ikatan penutup yang sedikit terbuka. Di pojok ruang, masih dideret yang sama, seorang mahasiswa berkaos putih, bercelana jens dan berambut panjang sedang memandang kedepan, kearah dosen, dengan sunguh-sungguh. Barisan didepanya hanya terdiri dari beberapa bangku yang jumlahnya tidak lebih banyak dari bangku dibelakangnya. Seorang mahasiswa duduk diantara dua orang mahasiswi. Bajunya berkaos putih bermotif etnis dengan celana yang hampir pudar warnanya. Rambutnya pendek. Tangannya sedang membolak balik kertas di hadapannya. Gadis di sebelah kiri mahasiswa itu berambut panjang, keriting dan terikat ke belakang. Gadis itu sedang mempermainkan tali tas batik kecil sambil mendengarkan ocehan dosen yang duduk tepat di depannya dengan seksama. Gadis di sebelah kanan berambut lurus tergerai dijepit ke belakang. Bajunya hitam dengan kulot hitam batik. Ia memangku wajahnya dengan sebelah tangan. Seperti yang lain, dia juga asyik mendengar ocehan dosen itu. Dosen itu duduk dipojok kanan ruang yang terbatas jendela kaca sorong, di atas kursi hitam dan kelihatan empuk sambil menaikan satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain. Jenggot dan kacamata tebal coklatnya memberi ciri yang khas dan kesan bahwa ia seorang yang konvensional. Dilihat dari perawakannya ia sudah tak muda lagi. Kemeja krem yang dipakainya berlengan pendek, celana coklat dengan ikat pinggang hitam dan bersepatu sendal. Sambil terus berbicara, ia mengepul-ngepulkan asap dari pipa yang diisapnya. Asap berbau tembakau itu memenuhi ruangan dan menyesakkan dada. Kalau bukan mahasiwa , aku pasti sudah menumpah-nyumpah. Di depannya ada meja kayu berwarna coklat. Diatas meja itu, di pojok kiri depan ada segelas teh berlepek dan diberi tutup stainlessteel. Isi nya masih penuh. Disamping kanan gelas itu ada spidol untuk whiteboard berwarna biru dan penghapus yang digeletakkan terbalik hingga busa penghapusnya yang sudah hitam menghadap keatas. Tak jauh dari situ ada map biru. Map absen, aku kira. Sejenak suasana jadi hening. Tidak ada suara galau kelas lain kecuali suara derak kipas angin dan decit-decit halus pertanda ada sedikit kerusakan pada kipas itu. Wajah-wajah yang tak satu pun aku kenal itu kini mengarah kepadaku. Tatapan mata mereka menujukkan bahwa kehadiranku menggangu suasana. Segera kusadari bahwa aku salah masuk ruangan. Dengan terburu dan gugup kucap kata maaf. Aku segera berbalik dan menghambur menuruni tangga. Sial! Kusesali diriku yang tak menyadari pentingnya fungsi kertas berlaminating yang tertempel di tiap pintu tadi.
Comments:
Post a Comment
~~~ |
.:Find Me:. If you interested in content, please contact the writer: Rusnita Saleh : .:acquaintances:.
The Enterprise .:Publications:.
Telegram Buat Dian .:Others:.
The Speech Blog .:New Books:. .:talk about it:.
.:archives:.
.:credits:.
|