![]() |
||
satu babak..track on 1993 Monday, May 31, 2004 T R E S N OAku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Suara yang riuh rendah tadi pelan-pelan menjadi hening. Pembawa acara yang ada di podium itu seorang gadis, rambutnya pendek. Wajahnya dimajukan sedikit ke depan agar bisa mencapai mikrofon yang ada di depanya. Meski tidak istimewa, dengan lancar ia membacakan urutan acara dengan sesekali melihat ke catatan kecil di tangan kirinya. Ia memakai jaket almamater, jaket kuning, sama seperti semua panitia acara diskusi itu. Ruangan di gedung empat itu agak dingin dibanding ruangan diluar. Aku menyilangkan tanganku didepan dada. Duduk di deret nomor 4 di sisi sebelah kanan. Paling pinggir. Disisi kiriku berdiri tegak mikrofon unyuk perserta. Aku sengaja duduk disitu, ingin memperhatikan air muka mereka-mereka yang akan berbicara di situ secra jelas. Ingin melihat kegrogian, serta lutut dan tangan yang gemetar. Aku ingin melihat letupan-letupan emosi itu close-up. Aku tak tahu kegilaan macam itu. Hal itu rasanya lebih lebih mengasyikkan dari pada menanti pembicara pertama yang belum datang. Para pembicara, moderator, dan notulen sudah duduk di depan.dua orang mahasiswa peserta diskusi yang terlambat baru masuk. Aku tak memperhatikan laki-laki keriting yang mengenakan baju kaos bergaris-garis. Yang kuperhatikan adalah temannya. Lelaki dengan senyum yang menarik. Rasanya aku kenal dia. Iya! Lelaki berkaos putih, bercelana blue jeans yang sudah memutih warnanya. Gayanya santai dan tak bisa dibilang rapi. Ia bersepatu sendal kulit bewarna coklat. Tali belakang sendal itu diinjak seenaknya. Aku kenal gaya itu. Aku kenal betul. Lelaki itu jangkung, mungkin karena itu langkahnya agak terbungkuk –bungkuk. Ia selalu tersenyum lebar, matanya mengedar ke sekeliling ruang, mellihat mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah duduk. Rambutnya yang lurus dibiarkan panjang melewati kuping. Masih seperti dulu. Ia mengambil tempat duduk satu deret di depanku,di sisi sebelah kiri. Tangan kirinya mengepit tas kanvas yang sewarna dengan celananya. Tali tas itu mengalir mengulur ke lantai, tersangkut di salah satu bangku. Ia tersenyum sendiri.Aku suka sekali senyum itu Pidato pembukaan dari orang-orang yang berwenang berganti -gantian. Aku tak tertarik samasekali. Pandangku terpaku pada lelaki itu . Mencoba mengingat-ingat namanya. Namun tak berhasil. Karena panasaran, aku mengirim notes beranting kepada temanku yang duduk di samping kanan, asyik mengobrol dengannya. “Wan! Cowok disamping elo itu, anak Hukum yah.. thanx! Iwan celigukkan mencari sumber notes itu. Aku melambaikan tangan. Dengan tersenyum lucu, Iwan menggangukkan kepalanya. Aku ingat dua tahun tiga bulan yang silam. Waktu itu aku masih mahasiswa baru di universitas ini. Bulan agustus 1991, seperti tahun sebelumnya adalah bulan-bulan penataran P-4. Aku dan teman-temanku mendapat jatah ditatar di gugus 5, yaitu di Fakultas Hukum. Bagiku penataran itu, meski kadang membosankan, amatlah mengasyikkan. Pada jam-jam istirahat makan siang dan sholat dzuhur, aku dan Inggrid, sahabatku waktu itu, selalu mengambil tempat di bangku yang sama di depan kantin. Disitulah aku pertama kali melihat laki-laki itu. Senyumnya yang ramah membuat aku betah. Waktu itu ia mahasiswa fakultas Hukum semester kelima, sama seperti aku sekarang. Ia bukan panitia, tapi tiap-tiap hari dia ada disitu. Aku sendiri tak pernah menanyakan apa kegiatannya. Mungkin iseng; atau memang ada yang sedang ia kerjakan. Entahlah. Aku tak peduli. Sejak awal jumpa, ia selalu bercerita tentang lelucon-lelucon yang lucu, namun pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Ia juga tidak keberatan atau menolak makan siang bersama. Aku selalu membagi bagianku dengannya. Aku pikir, ia pasti anak kost, atau paling tidak, tidak ada yang memperhatikan dirinya dengan baik. Bajunya tidak kusut, tapi tidak pernah rapi. Celana panjangnya selalu kotor dan menggantung, tidak sesuai dengan kakinya yang panjang. Ia selalu bersepatu kets kotor dengan kaos kaki yang warnanya tak pernah terkombinasi dengan baik dengan celana atau sepatunya. Rambutnya pun rasanya cuma disisir dengan jari-jari tangan. Diam-diam Inggrid selalu mengomentari kelucuan- kelucuan itu, terlebih keanehan dandanannya. Kami sama-sama cekikikan. Selain di depan kantin, pada saat makan siang, kadang aku berjumpa dengannya di warung, di seberang rel kereta, di depan fakultas hukum, di sebelah tempat foto kopi. Ia selalu mengumbar senyum dan memanggilku untuk mampir bergabung dengannya. Seringkali aku enggan, sebab semua orang di warung, itu adalah anak laki-laki. Kalau sudah begitu, ia hanya tersenyum, membiarkanku di tempat fotokopi. Setelah pekerjaan yang rutin kulakukan selama penataran maupun beberapa hari sesudahnya itu selesai, barulah ia berjalan beriringan denganku. Tertawa- tawa dan ngobrol ngalor ngidul seperti biasa. Entah mengapa, aku suka sekali padanya. Pada senyumnya, pada apa adanya. Ia tak pernah sungkan mengajakku ke tempat kostnya di Kukusan. Tapi aku tak pernah ke sana. Aku pikir itu tawaran basa- basi. Aku pun tak pernah mengungkapkan rasa sukaku pada siapa pun,bahkan pada diri sendiri. Aku pikir itu hanya kejadian momental. Aku pikir, perasaan itu hadir berlebihan. Aku tak mau berpikir yang aneh –aneh. Aku tak ingin ditertawai atau menertawakan diri sendiri. Tidak pada saat ini. Namun aku tak pernah lupa caranya mengupas pisang pemberiaanku, kaus kakinya, senyumnya yang lucu dan juga manis, tawanya yang renyah, semuanya. Kadang aku ingin sekali ke kampusnya. Ingin ngobrol-ngobrol seperti dulu. Tapi aku sungkan. Aku tak memiliki keperluan selain itu. Aku malu sendiri dan akhirnya memendam semua keinginan itu, hingga aku sendiri lupa. Kini ia ada di sini. Masih seperti yang dulu. Duduknya masih seenaknya, meski dalam pertemuan semi formal seperti ini. Aku pikir ia sudah wisuda atau paling tidak sedang menyusun skripsi sekarang. Aku tak tahu. Babak tanya-jawab dan tanggapan dimulai. Peserta- peserta yang ingin bertanya atau sekedar mengemukakan pandangannya bergilir menuju mikrofon di sampingku. Lelaki itu, seperti perserta yang lain, pun memandang antusias kepada mereka yang sedang berbicara di situ. Sekali ia melihat ke arahku. Senyumnya ada, tapi rasanya bukan khusus untukku. Pandangan matanya pun, seolah tak mengenalku. Mungkin ia ingat sedikit, seperti kesan pertamaku tadi, tapi ia segera melupakannya. Diskusi ini memang menarik. Mungkin. Hal ini agak meingankan rasa hatiku yang tiba- tiba kecewa. Aku sengaja memandang kearahnya., waktu ia memamerkan senyumnya. Kali ini, senyum itu untukku. Tapi cuma itu. Aku tersenyum pahit dan buru-buru mengubur cerita lalu. Namun, masih ada tersisa sedikit harapan untuk menemuinya nanti, setelah acara ini selesai. Pada babak-babak terakhir, akhirnya aku ingat namanya, yang disebutnya dengan lembut, tanpa emosi dan dengan aksen kental Jawa. “Saya Trisno, dari fakultas Hukum. Saya ingin meminta pendapat Bapak…” Aku berjalan keluar ruangan. Acara belum sepenuhnya usai, mungkin dua tiga menit lagi. Waktu Dzuhur sudah datang dari tadi. Aku tak mau mengambil resiko terlambat menghadapNya. Begitu ku kembali, ruang diskusi itu telah kosong tak berpenghuni. Cuma mimbar yang kusut dan serakan kertas sisa catatan-catatan kecil moderator. Hampa.
Comments:
Post a Comment
~~~ |
.:Find Me:. If you interested in content, please contact the writer: Rusnita Saleh : .:acquaintances:.
The Enterprise .:Publications:.
Telegram Buat Dian .:Others:.
The Speech Blog .:New Books:. .:talk about it:.
.:archives:.
.:credits:.
|