![]() |
||
..hilang.. Monday, May 31, 2004 KURA-KURA URASHIMAPada zaman dahulu kala ada seorang pemuda nelayan yang sangat mencintai laut. Ia suka mendengar gemuruh ombaknya serta memandangi airnya yang datang dan pergi silih berganti. Ia hidup di tepi laut. Jika sedang tidak belayar, dari jendela kamarnya ia memandang ombak-ombak besar berwarna biru memecah diatas batu karang dan kemudian menjadi buih berwarna putih. Laut dengan kelembutan dan kegarangannya dalam pantulan sinar bulan dan tenggelamnya matahari, semuanya ini merupakan teman akrabnya. Tentu saja hal ini dapat di mengerti. Seorang nelayan yang tidak mencintai laut sama celakanya dengan seekor anjing yang ditinggalkan oleh tuannya. Pemuda gagah itu bernama Urashima. Setiap hari, sebelum mentari menyambut dan memancarkannya sinarnya, ia berangkat dengan perahunya, mengarungi lautan mengumpulkan ikan, dan baru kembali setelah malam tiba. Layar perahunya terkembang, perut kapalnya penuh dengan ikan-ikan yang putih berkilauan bagai perak. Terkadang, jika sedang beruntung, baru sebentar turun ke laut tempat ikannya sudah penuh. Namun, bila sedang naas, kail serta jalanya tetap kosong. Ikan-ikan hasil tangkapannya itu biasanya untuk dirinya sendiri, namun tak jarang ia membagikannya kepada keluarganya. Mereka memang memerlukannya untuk hidup. Namun sebenarnya, ia lebih senang melepas kembali ikan-ikan hasil tangkapannya itu, untuk mengagumi gemerlap dan keindahan sisik-sisik yang tertimpa sinar mentari ataupun bentuknya yang menarik. Pada suatu senja, saat mentari yang akan tenggelam memancarkan sinarnya yang kemerahan di air laut, Urashima tiba-tiba melihat kailnya tenggelam. Dia menariknya sekuat tenaga, sebab seharian itu ia tak mendapat hasil tangkapan seekor pun. Ia berharap mendapatkan seekor ikan besar yang lincah, namun yang tersangkut di kailnya seekor kura-kura yang kikuk. “Malang benar! Sore ini aku tak mendapat makanan apapun! “ kata Urashima. “Tetapi aku tak mau memakannya.” Ia kemudian melepaskan kura-kura kecil itu dari kailnya. Membiarkanya kembali ke air dan menyelam di dalam percikan butir- butir air yang jernih. Dari bagian-bagian tengah semburan air itu muncul seorang gadis yang sangat cantik. Urashima melongo melihat kejadiaan itu, dan sebelum ia sadar akan apa yang sedang terjadi, gadis cantik itu duduk di sampingnya . Gadis cantik itu bertubuh mungil. Rambutnya panjang sepinggang dan berwarna sangat hitam, basah dan berkilau di siram cahaya senja. Rambut itu di ikat di sisi kiri dan kanannya, yang dibelakang dibiarkan terurai. Tanganya lentik dan halus, bertelekan pada bangku perahu. Matanya bundar besar dan sangat jernih, dengan bulu matanya yang lentik, indah sekali mengerjap-ngerjap. Hidungnya bangir dan mungil. Bibirnya merah dadu. Kulit wajahnya putih bersih bagai porselin. Ia mengenakan baju putih panjang terbuat dari sutra, ditaburi manik-manik aneka warna. Semuanya memantulkan kembali sinar yang datang. Di pinggangnya terikat sabuk terbuat dari serabut-serabut tanaman laut berwarna indah. Bau tubuhnya harum lembut. Urashima menggosok-gosok matanya, tak percaya ketika gadis itu tersenyum padanya. Gadis itu menjelaskan pada nelayan muda yang kebingungan itu bahwa dia adalah putri Dewa laut dan bahwa ayahandanya telah mengizinkannya untuk mengubah diri seperti kura-kura agar bisa bertemu dan mengetahui apakah Urashima benar-benar memiliki hati yang baik. “Kami yang hidup di dasar laut, “ kata gadis itu, “biasa berkata bahwa mereka-mereka yang mencintai laut adalah garam dunia. Tetapi kami akan sangat bahagia melihat prilaku seperti yang kau contohkan tadi. Sejaksekarang engkau adalah temanku. Maukah kau hidup bersamaku di istana naga, di kerajaan ombak-ombak Hijau?” Urashima yang terpesona akan kecantikan dan kehalusan bahasa gadis itu tak dapat berkata apa-apa kecuali dengan spontan mengganggukkan kepalanya. Mereka kemudian meluncur kedasar samudra. Urashima berpegangan pada lengan sang putri. Ketika si gadis tersenyum, ombak menyibak, dan sebelum Urashima sadar, mereka dengan cepat sudah berada di depan pintu gerbang istana si putri. Ikan-ikan yang bertopi emas dan berbaju kristal mengawal mereka ke bagian dasar lautan. Mereka kemudian berada di lengan -lengan bunga karang. Tempat itu begitu damai dan tenang. Deru ombak dari kejauhan di permukaan air hanya terdengar samar-samar. Di sanalah terletak istana karang dan mutiara yang sangat indah. Permatanya gemerlap terkena cahaya matahari atau rembulan yang masih dapat menerobos masuk, meski tak begitu terik. Naga-naga yang bersirip beludru menuruti semua permintaan mereka dan melayani mereka dengan hidangan-hidangan laut yang paling enak. Selama empat tahun Urashima dan Putri Raja hidup bahagia bagai dalam impian. Di dalam istana mereka, rumput-rumput laut menari dengan tenang dan siang malam bermain dalam cahaya senja yang tiada akhirnya. Urashima merasa sangat bahagia, sampai suatu saat sekor kura-kura kecil yang kulitnya bertahtakan permata datang mengingatkan nya kembali pada dusun kelahirannya. Ia memegang kura-kura itu, meletakkanya pada telapak tanganya, dan tatapan matanya menjadi sendu. Ia ingat akan ibunya yang menjadi tua dalam kesedihan dan kekhawatiran, ingat akan ayahnya yang sudah tua, lumpuh dan sakit-sakitan, yang tak mampu lagi menyirami tanaman sla di dalam kebunnya. Ia teringat akan pantai di masa kanak-kanaknya tempat tempat ia bersenang-senag dengan membangun istan-istana dari pasir. Putri raja mengerti akan apa yang merisaukan hati Urasima. Sebenarnya ia tak rela mengucapkan kata-kata bijaksana untuk menyenangkan Urashima: sebab hal itu akan menyakiti hatinya sendiri. Ia akan merasa sangat kehilangan. Namun, ia tetap juga mengatakan apa yang mestinya ia katakan. “Urashima, aku mengerti apa yang merisaukan hatimu. Bila kau ingin kembali kepada keluargamu, pergilah. Sebab, bila aku mencegahmu, maka kau akan membenciku.” Sang putri raja mencoba menahan perasaan dan airmatanya. “Bila kau ingin kembali, bawalah peti kecil yang terbuat dari mutiara dan terikat oleh pita sutra hijau ini. Jangan sampai hilang. Jagalah hati-hati. Yang penting, tidak seorang pun boleh membukanya. Sebab bila ada yang melepas ikatan pita itu, engkau tidak akan pernah dapat kembali ke sisiku.” Setelah menyerahkan peti itu, sang putri menempatkan Urashima pada sebuah perahu dan melemparkannya ke ombak. Sejenak kemudian Urashima sudah berlayar di permukaan laut. Angin meniupnya dari kejauhan dan membawanya ke tepi pantai tempatnya berasal. Ia melompat dari perahunya menuju kaki bukit tempat rumahnya berdiri dikelilingi pohon-pohon ceri dan pinus. Dengan senag hati penuh kerinduan, ia menuju jalan sempit yang sangat di kenalnya. Mulanya ia tak merasa ada kejanggalan. Langit masih berwarna biru. Jangkrik masih berdesir di rerumputan, sedangkan batu karang berlumut yang dulu pernah ia gunakan sebagai tempat untuk mengamati keindahan laut masih tetap berada pada tempatnya. Tetapi ketika ia tiba di tempat yang seharusnya rumahnya berdiri, ia merasa aneh. Rumah itu sudah lenyap. Segalanya menjadi asing. Ia berkeliling mencari sesuatu yang dapat dikenalnya. Namun sia-sia. Anak-anak yang muncul dari berbagai arah memandanginya dengan keheranan. Segalanya telah berubah. Ia tak lagi berada di desanya yang dipenuhi hutan-hutan bakau dan petak-petak sawah. Ia telah menjadi orang asing, hanya dalam waktu empat tahun! Ia tak percaya dengan apa yang dialaminya hari itu. Ia bahkan tak berani berkata atau berbicara dengan orang yang ada di sekitarnya, yang memandanginya dengan penuh keheranan. Akhirnya ia bertemu dengan seorang lelaki tua bertongkat yang sedang duduk di atas sebuah batu sambil mengisap pipa tembakau di tangannya. Nampaknya ia sedang mengenang masa lalunya. Urashima mendekati laki-laki berjenggot putih dan berambut panjang yang juga berwarna putih kelabu itu sambil berkata, “Maafkan saya, pak. Dapatkah bapak menunjukkan di mana rumah Urashima?” Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya yang keriput. Matanya yang buram memandang Urashima dengan teliti. “Urashima ? benarkah engkau berkata tentang Urashima? Bukankah itu nama anak laki-laki yang tenggelam empat ratus tahun yang lalu ketika ia sedang mencari ikan? Bila benar ia yang kau maksudkan, yah, sudah sejak lama saudara-saudara, cucu serta buyutnya meninggal…yah,empat ratus tahun yang lalu, pada suatu hari yang cerah di musim panas seperti saat ini, Urashima lenyap…tak seorangpun pernah melihatnya lagi. Bahkan serpihan perahunya pun tak dapat ditemukan orang. Buyutnya yang terakhir kabarnya sangat mirip Urashima. Ia sangat mencintai laut dan meninggal ditelan badai.” Orang tua itu lalu tersenyum kepadanya. Hati Urashima begitu pilu. Ia mencoba mengenang semua kejadian yang lampau, tentang ibunya, kakaknya, bapaknya dan tentang semuanya. Tapi hal itu menjadi sangat sulit. Ia tak mampu berfikir tentang apapun saat ini. Orang tua itu menujukkan kepada Urashima pekuburan keluarganya yang dipenuhi lumut dan belukar. Di salah satu kuburan itu di balik semak-semak berduri, ada sebuah batu nisan yang sudah berlumut bertuliskan namanya. Dibawahnya tertulis,”HILANG DALAM SAMUDRA YANG DICINTAINYA “. Tulisan itu sudah buram. Urashima mencungkilnya dengan lidi. Ia membersihkan kuburan itu dengan hati-hati. Ia juga melihat kuburan saudara-saudaranya di kiri dan kanan kuburannya. Kuburan ibu dan bapak nya berdampingan di sebelah atas bagian kuburan-kuburan itu. Beberapa kuburan dengan nisan bertuliskan nama-nama yang tak dikenalnya berjajar-jajar tersusun di bawah kuburannya. Hatinya seperti di koyak-koyak. Dengan gontai Urashima menuju laut. Ia merasa sangat sedih, letih dan tak berdaya. Ia duduk di atas karang berlumut, meletakkan peti kecil pemberian sang putri pangkuannya. Tanpa sadar ia membuka ikatan pita sutra hijau. Tiba-tiba asap putih membumbung ke udara, membentuk awan yang sangat ringan. Awan itu sejenak melayang didepan mata Urashima. Ia melihat wajah serta tubuh putri Raja terukir di sana. Urashima mengulurkantangan kepadanya dan memanggil namanya. Tetapi angin bertiup, awan itu terbang menjauh dan melayang di atas ombak. Urashima bangkit dan berusaha mengejarnya, tetapi ia tak pernah dapat menangkapnya. Urashima kemudiaan berhenti di tepi air laut yang biru. Termangu-mangu. Tiba-tiba ia merasa sangat letih, tubuhnya menjadi sangat ringan. Seperti kapas, ia melayang-layang ikut terbang bersama awan dan angin. Bulan muncul di atas pohon-pohon pinus. Cahayanya menyinari ombak yang datang dan pergi silih berganti, menyapu tepi pantai dengan lembut. Sementara itu, sebuah peti kecil dari mutiara dipermainkan pucuk-pucuk gelombang dan di atas sana, sehelai pita sutra hijau melayang-layang ditiup angin. Di kutip dari dongeng jepang : 22 Oktober 1993
Comments:
Post a Comment
~~~ |
.:Find Me:. If you interested in content, please contact the writer: Rusnita Saleh : .:acquaintances:.
The Enterprise .:Publications:.
Telegram Buat Dian .:Others:.
The Speech Blog .:New Books:. .:talk about it:.
.:archives:.
.:credits:.
|