Monday, May 31, 2004

Akusangat letih. Isi kepalaku seperti di aduk-aduk.bermacam-macam cerita tersusun acak-acakan, tak beraturan dan semakin membuatku letih. Kurebahkan sekujur tubuhku di atas pembaringan yang keras dan berlapis kain bergambar taburan bunga-bunga warna warni. Kini. kurasakan pembaringan itu mengikatku kuat, seolah menyerap semua tenagaku. Mataku belum terpejam, mesti lampu kamar sudah kumatikan sejak tadi.Kutarik lampu lampu baca diatas meja di sebelah kananku, Kutekan tombol saklarnya dan melirik jam di sebelahnya. Jam3 pagi! Segera kupejamkan mataku kuat-kuat. Senandung “kissing a fool”nya George Michael pelan-pelan kuikuti. Kubiarkan pikiranku mengembara mengikuti syair-syair lagu itu. Pengaruh obat tidur yang kutelan setengah jam yang lalu mulai terasa .

Pengembaraanku berhenti pada sebuah ruang yang sangat terang. Ruang yang sangat aku kenal, yang mengingatkanku pada masa kecilku. Iya, ini ruang tunggu dokter Azis, dokter yang selalu memberiku permen setelah memeriksa kesehatanku. Keadan ruang itu persis sama seperti 10 tahun yang lalu. Ruang persegi panjang yang cukup luas itu berisi bangku-bangku panjang yang disusun rapat ke dinding.

Kursi kecil dengan meja penuh balok-balok kecil aneka bentuk dan dapat disusun menjadi bangunan-bangunan istana tergeletak diatasnya, masih dipojok kanan. Di situ biasanya aku menghabiskanwaktu sembari menunggu giliran. Di sebelahnya ada rak penuh majalah. Dulu pun aku senang mebolak-balik majalah–majalah itu, membacanya sampai tuntas, meski aku tak mengerti isinya..

Di pojok sebelah kiri, dekat pintu menuju kamar periksa ada meja kayu berpelitur coklat. Di atasnya ada satu rak tempat menyusun file-file pasien. Di belakang meja itu duduk seorang wanita muda dengan mata yang sangat dalam, ada lengkungan hitam di seputar mata itu. Rambut pendeknya yang bergelombang di hiasi bando berwarna coklat. Ia berbaju putih perawat dan asyik mencoret-coret fomulir di depannya, sambil menyebut nama-nama pasien yang mendapat giliran. ia terlihat mondar-mandir dari kamar periksa ke mejanya dan sebaliknya sambil membawa file-file tertentu.

Jam dinding bergambar Donal Bebek yang sedang tersenyum lebar masih tergantung di tembok berwarna krem. Jarum-jarumnya menunjukkan pukul 3. Aku tak tahu, pukul 3 pagi atau sore, sebab hanya ruang itu saja yang terang menderang. Di luar sangat gelap. Terdengar suara dan peluit kereta api, sehingga kusangka aku berada di stasiun kereta. Sebentar kemudian tercium bau amis dan debu ombak terdengar pula. Aku merasakan ada yang aneh, tapi aku tak mengerti apa.

Di atas bangku-bangku yang disusun membentuk huruf L itu duduk orang-orang yang sepertinya aku kenal,tapi aku tak ingat entah aku di mana, atau entah siapa mereka. Ada lelaki setengah baya berambut keriting sangat hitam sedang duduk dengan malas dan meluruskan kakinya ke depan. Wajah lelaki itu seperti mayat, berbibir tipis hingga hampir tak kelihatan,dan bermata cekung, berwarna coklat dan tak bercahaya. Kulitnya yang gelap di tutupi baju kotak-kotak berdasar putih. Kepalanya di sandarkan ke dinding tanpa gerak. Hanya asap yang mengepul dari rokok yang terselip di jarinya saja yang menandakan adanya dinamika pada dirinya.


Di sebelah lelaki tadi duduk seorang pria dengan jas coklat gelap yang sangat tidak cocok dengan warna kulitnya yang berbencak-bencak hitam. Tanganya menyilang di depan perutnya yang buncit, bersepatu coklat mengkilat dengan retakan-retakan yang terlihat jelas pada tekukan jari-jarinya. Pria itu tertidur dengan pulas dan kepalanya terkulai ke kiri.

Di sebelah lelaki yang tertidur itu duduk seorang wanita muda dengan wajah letih dan murung. Matanya merah, Ia sedang menepuk-nepuk punggung seorang anak kecil di pangkuannya, menyelimutinya dan membalurinya dengan balsem. Bau balsem itu memenuhi ruangan. Wanita itu berkalung emas besar yang tergantung di lehernya. Rambutnya kusut dan berwarna hitam kecoklatan. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran.

Anak kecil yang duduk dipangkuanya bertubuh gempal, berumur sekitar 2 tahun, memuntahkan cairan kuning seperti bubur jagung. Wajahnya memerah, sementara matanya yang kecil itu berair. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, kecuali dencingan gelang emas yang bergoyang-goyang di tangan sebelah kirinya. Ibunya dengan sibuk dan panik segera membersihkan semua kotoran-kotoran yang bececer di lantai dan bajunya.

Aku merasa wajahku sedingin es. Angin kencang dari luar yang berbau amis laut itu menggoyang-goyang tirai jendela. Aku tak mengerti mengapa aku ada disitu, bersama orang-orang aneh yang sepertinya aku kenal, tapi entah kapan dan di mana. Kalau pun ruang itu benar ruang tunggu dokter Azis, siapa orang aneh-aneh ini? Pasien- pasiennya? Tidak mungkin. Dokter azis adalah dokter sepesialis anak, dan kabar terakhir yang aku dengar tentangnya adalah bahwa ia telah menutup prakteknya beberapa tahun lalu. Aku merinding.

Tiba-tiba tirai pintu penghubung kamar periksa dan ruang tunggu yang bermotif batang-batang bamboo hijau tersingkap. Aku melihat Pinto menyeruak masuk. Terkembang senyum di wajah lelaki muda itu, senyum paling lebar yang pernah aku lihat. Aku menghempas nafas lega akhirnya aku menemui orang-orang yang benar-benar aku kenal. Pinto memakai kaos biru muda berulis POLO di depannya. Wajah nya penuh keringat. Dia tak memakai kacamata yang biasanya dikenakannya, sehingga aku melihat bola matanya yang hitam dan tajam. Dia mendekat padaku, sangat dekat, hingga aku dapat mencium bau tubuhnya dan bisa melihat denyut nadi di pelipisnya. Semakin dekat, senyum lebarnya semakin hilang, berubah menjadi senyum bengis. Aku tak pernah melihat pencaran kebencian seperti itu sebelumnya. Ia seakan datang ingin mencekikku.

Aku merasa seolah –olah jantungku akan melompat keluar dari rongga dadaku. Aku tak bisa bernafas. Wajah Pinto mengerut dan tiba-tiba berubah menjadi wajah bapak. Lidahku seperti tergigit karena kagetnya. Wajah itu tua dan sedih. Sinar matanya yang kelabu itu redup, tanpa kehidupan.

Kini semua mata yang ada di ruang itu lantang dan tajam mengarah ke mataku. Dadaku seperti ditindih, sesak dan perih. Prang! Suara kaca pecah berlanjut gelindingan beling membangunkanku. Semua wajah–wajah itu hilang, berganti sepotong wajah yang sangat kukenal. Eka, teman sekamarku, berdiri kaku di pojok tempat tidurku. Matanya ketakutan, tangannya menutup mulutnya yang terbuka. “Maaf…,” katanya lirih dan terburu membereskan pecahan gelas di lantai.

Aku beristighfar berulang kali. Anehnya, aku merasa sangat lega Tak pernah rasanya aku sebahagia ini melihat orang ketakutan seperti itu. Aku menyumpahi pikiranku yang kotor itu.

Jam dinding kamarku menunjukkan 5 pagi. Aku bergegas membasuh wajah dan tubuhku dengan air dingin. Wudhu dan sholat subuh dengan segera. Dalam khusyukku aku berjanji akan segera menelepon bapak. Akan kukatakan padanya, bahwa aku sangat mencintainya, bahwa aku rindu padanya.


30 september 1993


Blogged on 6:08 PM by Upay

|

Comments: Post a Comment

~~~