Sunday, May 30, 2004

THERE IS ANOTHER WAY


Udara pagi yang dingin mulai disiram mentari. Jam 7 pagi.
Aku berhenti di setasiun kereta Tebet, seperti pagi-pagi sebelumnya. Pada jam-jam begini, apalagi pada hari-hari ketika sebagian besar anak-anak sekolah maupun mahasiswa menikmati liburan akhir tahunnya, jalan-jalan berubah menjadi sedikit lengang. Termasuk Stasiun Tebet.

Akhir Desember yang penuh hujan ini membuat tanah- tanah basah. Hanya beberapa mahasiswa yang membaca diktat, atau membahas soal-soal ujian yang kira-kira keluar nanti. Duduk diatas bangku-bangku biru atau berdiri, sambil mengobrol atau tertawa-tawa. Menghilangkan ketegangan. Mungkin jumlah hanya 12 sampai 15 orang. Biasanya bisa sampai 50-an anak atau lebih. Aku satu diantaranya.

Orang- orang yang duduk maupun berdiri dan bercakap-cakap disitu sebagian besar sudah aku kenal. Iya, kenal wajah doang. Aku biasanya mengisi waktu 5 menit menunggu kereta dengan membaca. Membaca apa saja yang aku anggap perlu untuk dibaca, yang menarik maupun yang tidak. Tak jarang aku memperhatikan tingkah pola para penunggu yang lain. Ini merupakan keasyikan tersendiri. Dan aku menikmatinya.

Kereta berjalan 5 menit. Bocah- bocah berpeci dengan seragam pesantren anu atau madrasah apa dengan menjijing kotak kayu mulai membaca pidatonya, mahir mengucap kalimat-kalimat dalam bahasa Arab. Berbaur dengan suara anak- anak yang menawarkan koran atau majalah. Intinya, mereka mengharapkan uluran tangan para penumpang, dengan menyumbang dana bagi pembangunan masjid, pesantren atau apalah.

Aku tak pernah sedikit pun berapriori dengan kegiatan ini. Cuma saja, keadaan ini membawaku kembali ke masa lalu. Saat aku masih seumur bocah- bocah ini.

Sebagai salah satu angota pramuka, waktu itu, aku dan teman-temanku sering membutuhkan banyak dana bagi kegiatan-kegiatan kami. Untuk minta ke orang tua, merupakan hal yang memalukan bagi kami. Alhasil, kita berupaya nyari duit sendiri

He’eh! Kita apa kerja apa saja, asal halal. Aku sempat membongkar isi gudang, menjual koran- koran maupun majalah bekas ke warung-warung. Atau menjaga toko kakakku di hari liburdengan upah yang lumayan. Tak jarang kami menawarkan diri mengecat pagar atau membersihkan kebun-kebun orang. Semua itu diorganisasi dengan baik. Ada anak yang bertugas mendatangi rumah-rumah (biasanya rumah- rumah orang berada) untuk menawarkan jasa dan bernegoisasi, yang lain adalah perkerja-perkeja lapangannya.

Bekal ilmu yang kami dapat dari latihan kepramukaan menjadi modal yang sangat berharga. Membuat orang-orang percaya dengan kemampuan kami. Terang saja, kami berkerja dengan disiplin yang baik dan bertanggung jawab. Pada saat-saat tertentu, pameran misalnya, wira usaha dimulai lebih giat. Kami menjual tanaman- tanaman yang kami cangkok dan pelihara sendiri, atau hewan- hewan peliharaan seperti ayam dan ikan hias dengan mutu tinggi. Semua ini dikerjakan secara rutin di waktu luang. Yang memiliki ketrampilan di bidang kerajinan tak kalah kreatifnya dengan membuat bangku-bangku aneka bentuk yang lucu-lucu dan bermanfaat. Atau apa saja, pokoknya bisa dijual dan menghasilkan uang berkah buat kegiatan kami yang lain.
Hasilnya? Kami tak pernah merasa harus repot-repot kekurangan dan. Percaya diri dan rasa tanggung jawab kami timbul. Pelajaran-pelajaran berharga lahir bersama sikap mental yang konstruktif.

Aku kembali memandang wajah bocah-bocah kecil itu. Mereka mengeluarkan kotak-kotak kayu yang selama ini dijinjingnya ke penumpang-penumpang sambil menyanyi lagu-lagu Qasidah. Ada berapa orang yang memasukkan recehan kedalam kotak itu,namun banyak juga yang mengacuhkan. Aku getir memandangnya.

Bocah-bocah penjual koran maupun makanan-makanan kecil besliweran menawarkan dagangan mereka. Melihat semangat mereka bekerja menimbulkan rasa kagum tersendiri bagiku. Mengapa anak-anak berpeci itu tidak melakukan hal yang sama seperti mereka ? Atau kegiatan yang mirip dengan yang kami lakukan dulu.

Mungkin pengobanannya lebih berat. Namun rasanya, waktu itu kami sangat puas dan bangga melakukannya. Harga diri kami tumbuh sebagai orang yang mampu berjuang tanpa harus menunggu bantuan orang lain.

Ya, mengapa kita kita tak memberi pelajaran yang sama kepada yang lain. Alternatif yang rasanya, lebih berbobot dari sekedar meminta sumbangan.



Blogged on 8:57 PM by Upay

|

Comments: Post a Comment

~~~