Monday, May 31, 2004

KURA-KURA URASHIMA

Pada zaman dahulu kala ada seorang pemuda nelayan yang sangat mencintai laut. Ia suka mendengar gemuruh ombaknya serta memandangi airnya yang datang dan pergi silih berganti. Ia hidup di tepi laut. Jika sedang tidak belayar, dari jendela kamarnya ia memandang ombak-ombak besar berwarna biru memecah diatas batu karang dan kemudian menjadi buih berwarna putih. Laut dengan kelembutan dan kegarangannya dalam pantulan sinar bulan dan tenggelamnya matahari, semuanya ini merupakan teman akrabnya. Tentu saja hal ini dapat di mengerti. Seorang nelayan yang tidak mencintai laut sama celakanya dengan seekor anjing yang ditinggalkan oleh tuannya.

Pemuda gagah itu bernama Urashima. Setiap hari, sebelum mentari menyambut dan memancarkannya sinarnya, ia berangkat dengan perahunya, mengarungi lautan mengumpulkan ikan, dan baru kembali setelah malam tiba. Layar perahunya terkembang, perut kapalnya penuh dengan ikan-ikan yang putih berkilauan bagai perak. Terkadang, jika sedang beruntung, baru sebentar turun ke laut tempat ikannya sudah penuh. Namun, bila sedang naas, kail serta jalanya tetap kosong. Ikan-ikan hasil tangkapannya itu biasanya untuk dirinya sendiri, namun tak jarang ia membagikannya kepada keluarganya. Mereka memang memerlukannya untuk hidup. Namun sebenarnya, ia lebih senang melepas kembali ikan-ikan hasil tangkapannya itu, untuk mengagumi gemerlap dan keindahan sisik-sisik yang tertimpa sinar mentari ataupun bentuknya yang menarik.

Pada suatu senja, saat mentari yang akan tenggelam memancarkan sinarnya yang kemerahan di air laut, Urashima tiba-tiba melihat kailnya tenggelam. Dia menariknya sekuat tenaga, sebab seharian itu ia tak mendapat hasil tangkapan seekor pun. Ia berharap mendapatkan seekor ikan besar yang lincah, namun yang tersangkut di kailnya seekor kura-kura yang kikuk.

“Malang benar! Sore ini aku tak mendapat makanan apapun! “ kata Urashima. “Tetapi aku tak mau memakannya.” Ia kemudian melepaskan kura-kura kecil itu dari kailnya. Membiarkanya kembali ke air dan menyelam di dalam percikan butir- butir air yang jernih. Dari bagian-bagian tengah semburan air itu muncul seorang gadis yang sangat cantik. Urashima melongo melihat kejadiaan itu, dan sebelum ia sadar akan apa yang sedang terjadi, gadis cantik itu duduk di sampingnya .

Gadis cantik itu bertubuh mungil. Rambutnya panjang sepinggang dan berwarna sangat hitam, basah dan berkilau di siram cahaya senja. Rambut itu di ikat di sisi kiri dan kanannya, yang dibelakang dibiarkan terurai. Tanganya lentik dan halus, bertelekan pada bangku perahu. Matanya bundar besar dan sangat jernih, dengan bulu matanya yang lentik, indah sekali mengerjap-ngerjap. Hidungnya bangir dan mungil. Bibirnya merah dadu. Kulit wajahnya putih bersih bagai porselin. Ia mengenakan baju putih panjang terbuat dari sutra, ditaburi manik-manik aneka warna. Semuanya memantulkan kembali sinar yang datang. Di pinggangnya terikat sabuk terbuat dari serabut-serabut tanaman laut berwarna indah. Bau tubuhnya harum lembut. Urashima menggosok-gosok matanya, tak percaya ketika gadis itu tersenyum padanya.

Gadis itu menjelaskan pada nelayan muda yang kebingungan itu bahwa dia adalah putri Dewa laut dan bahwa ayahandanya telah mengizinkannya untuk mengubah diri seperti kura-kura agar bisa bertemu dan mengetahui apakah Urashima benar-benar memiliki hati yang baik.





“Kami yang hidup di dasar laut, “ kata gadis itu, “biasa berkata bahwa mereka-mereka yang mencintai laut adalah garam dunia. Tetapi kami akan sangat bahagia melihat prilaku seperti yang kau contohkan tadi. Sejaksekarang engkau adalah temanku. Maukah kau hidup bersamaku di istana naga, di kerajaan ombak-ombak Hijau?”

Urashima yang terpesona akan kecantikan dan kehalusan bahasa gadis itu tak dapat berkata apa-apa kecuali dengan spontan mengganggukkan kepalanya. Mereka kemudian meluncur kedasar samudra. Urashima berpegangan pada lengan sang putri. Ketika si gadis tersenyum, ombak menyibak, dan sebelum Urashima sadar, mereka dengan cepat sudah berada di depan pintu gerbang istana si putri. Ikan-ikan yang bertopi emas dan berbaju kristal mengawal mereka ke bagian dasar lautan. Mereka kemudian berada di lengan -lengan bunga karang. Tempat itu begitu damai dan tenang. Deru ombak dari kejauhan di permukaan air hanya terdengar samar-samar. Di sanalah terletak istana karang dan mutiara yang sangat indah. Permatanya gemerlap terkena cahaya matahari atau rembulan yang masih dapat menerobos masuk, meski tak begitu terik. Naga-naga yang bersirip beludru menuruti semua permintaan mereka dan melayani mereka dengan hidangan-hidangan laut yang paling enak.

Selama empat tahun Urashima dan Putri Raja hidup bahagia bagai dalam impian. Di dalam istana mereka, rumput-rumput laut menari dengan tenang dan siang malam bermain dalam cahaya senja yang tiada akhirnya.

Urashima merasa sangat bahagia, sampai suatu saat sekor kura-kura kecil yang kulitnya bertahtakan permata datang mengingatkan nya kembali pada dusun kelahirannya. Ia memegang kura-kura itu, meletakkanya pada telapak tanganya, dan tatapan matanya menjadi sendu. Ia ingat akan ibunya yang menjadi tua dalam kesedihan dan kekhawatiran, ingat akan ayahnya yang sudah tua, lumpuh dan sakit-sakitan, yang tak mampu lagi menyirami tanaman sla di dalam kebunnya. Ia teringat akan pantai di masa kanak-kanaknya tempat tempat ia bersenang-senag dengan membangun istan-istana dari pasir.

Putri raja mengerti akan apa yang merisaukan hati Urasima. Sebenarnya ia tak rela mengucapkan kata-kata bijaksana untuk menyenangkan Urashima: sebab hal itu akan menyakiti hatinya sendiri. Ia akan merasa sangat kehilangan. Namun, ia tetap juga mengatakan apa yang mestinya ia katakan.

“Urashima, aku mengerti apa yang merisaukan hatimu. Bila kau ingin kembali kepada keluargamu, pergilah. Sebab, bila aku mencegahmu, maka kau akan membenciku.” Sang putri raja mencoba menahan perasaan dan airmatanya. “Bila kau ingin kembali, bawalah peti kecil yang terbuat dari mutiara dan terikat oleh pita sutra hijau ini. Jangan sampai hilang. Jagalah hati-hati. Yang penting, tidak seorang pun boleh membukanya. Sebab bila ada yang melepas ikatan pita itu, engkau tidak akan pernah dapat kembali ke sisiku.”

Setelah menyerahkan peti itu, sang putri menempatkan Urashima pada sebuah perahu dan melemparkannya ke ombak. Sejenak kemudian Urashima sudah berlayar di permukaan laut. Angin meniupnya dari kejauhan dan membawanya ke tepi pantai tempatnya berasal. Ia melompat dari perahunya menuju kaki bukit tempat rumahnya berdiri dikelilingi pohon-pohon ceri dan pinus. Dengan senag hati penuh kerinduan, ia menuju jalan sempit yang sangat di kenalnya. Mulanya ia tak merasa ada kejanggalan. Langit masih berwarna biru. Jangkrik masih berdesir di rerumputan, sedangkan batu karang berlumut yang dulu pernah ia gunakan sebagai tempat untuk mengamati keindahan laut masih tetap berada pada tempatnya. Tetapi ketika ia tiba di tempat yang seharusnya rumahnya berdiri, ia merasa aneh. Rumah itu sudah lenyap. Segalanya menjadi asing.

Ia berkeliling mencari sesuatu yang dapat dikenalnya. Namun sia-sia. Anak-anak yang muncul dari berbagai arah memandanginya dengan keheranan. Segalanya telah berubah. Ia tak lagi berada di desanya yang dipenuhi hutan-hutan bakau dan petak-petak sawah. Ia telah menjadi orang asing, hanya dalam waktu empat tahun! Ia tak percaya dengan apa yang dialaminya hari itu. Ia bahkan tak berani berkata atau berbicara dengan orang yang ada di sekitarnya, yang memandanginya dengan penuh keheranan. Akhirnya ia bertemu dengan seorang lelaki tua bertongkat yang sedang duduk di atas sebuah batu sambil mengisap pipa tembakau di tangannya. Nampaknya ia sedang mengenang masa lalunya.

Urashima mendekati laki-laki berjenggot putih dan berambut panjang yang juga berwarna putih kelabu itu sambil berkata, “Maafkan saya, pak. Dapatkah bapak menunjukkan di mana rumah Urashima?”

Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya yang keriput. Matanya yang buram memandang Urashima dengan teliti. “Urashima ? benarkah engkau berkata tentang Urashima? Bukankah itu nama anak laki-laki yang tenggelam empat ratus tahun yang lalu ketika ia sedang mencari ikan? Bila benar ia yang kau maksudkan, yah, sudah sejak lama saudara-saudara, cucu serta buyutnya meninggal…yah,empat ratus tahun yang lalu, pada suatu hari yang cerah di musim panas seperti saat ini, Urashima lenyap…tak seorangpun pernah melihatnya lagi. Bahkan serpihan perahunya pun tak dapat ditemukan orang. Buyutnya yang terakhir kabarnya sangat mirip Urashima. Ia sangat mencintai laut dan meninggal ditelan badai.” Orang tua itu lalu tersenyum kepadanya.

Hati Urashima begitu pilu. Ia mencoba mengenang semua kejadian yang lampau, tentang ibunya, kakaknya, bapaknya dan tentang semuanya. Tapi hal itu menjadi sangat sulit. Ia tak mampu berfikir tentang apapun saat ini. Orang tua itu menujukkan kepada Urashima pekuburan keluarganya yang dipenuhi lumut dan belukar. Di salah satu kuburan itu di balik semak-semak berduri, ada sebuah batu nisan yang sudah berlumut bertuliskan namanya. Dibawahnya tertulis,”HILANG DALAM SAMUDRA YANG DICINTAINYA “. Tulisan itu sudah buram. Urashima mencungkilnya dengan lidi. Ia membersihkan kuburan itu dengan hati-hati. Ia juga melihat kuburan saudara-saudaranya di kiri dan kanan kuburannya. Kuburan ibu dan bapak nya berdampingan di sebelah atas bagian kuburan-kuburan itu. Beberapa kuburan dengan nisan bertuliskan nama-nama yang tak dikenalnya berjajar-jajar tersusun di bawah kuburannya. Hatinya seperti di koyak-koyak.

Dengan gontai Urashima menuju laut. Ia merasa sangat sedih, letih dan tak berdaya. Ia duduk di atas karang berlumut, meletakkan peti kecil pemberian sang putri pangkuannya. Tanpa sadar ia membuka ikatan pita sutra hijau. Tiba-tiba asap putih membumbung ke udara, membentuk awan yang sangat ringan. Awan itu sejenak melayang didepan mata Urashima. Ia melihat wajah serta tubuh putri Raja terukir di sana. Urashima mengulurkantangan kepadanya dan memanggil namanya. Tetapi angin bertiup, awan itu terbang menjauh dan melayang di atas ombak. Urashima bangkit dan berusaha mengejarnya, tetapi ia tak pernah dapat menangkapnya.

Urashima kemudiaan berhenti di tepi air laut yang biru. Termangu-mangu. Tiba-tiba ia merasa sangat letih, tubuhnya menjadi sangat ringan. Seperti kapas, ia melayang-layang ikut terbang bersama awan dan angin.

Bulan muncul di atas pohon-pohon pinus. Cahayanya menyinari ombak yang datang dan pergi silih berganti, menyapu tepi pantai dengan lembut. Sementara itu, sebuah peti kecil dari mutiara dipermainkan pucuk-pucuk gelombang dan di atas sana, sehelai pita sutra hijau melayang-layang ditiup angin.



Di kutip dari dongeng jepang : 22 Oktober 1993





Blogged on 6:44 PM by Upay

|

~~~

NYARIS

Jam 6.30 WIB pagi. Aku buru-buru menyusun lembar-lembar fotokopian yang berserakan di atas meja. Tadi malam aku hanya membaca sebagian lantaran tugas yang menumpuk dari dosen yang paling santer dan paling doyan memberi tugas maupun bahan bacaan, Bu Irma, si bom waktu itu. Iya! Dosen berdisiplin militer yang selalu tepat waktu dan perfeksionis itu kadang lembut dan gurih tawanya; namun kadang bisa meledak-ledak amarahnya pada saat yang sama lantaran ada mahasiswa jahil yang kertas kerjanya dipenuhi tip-ex, karena ceroboh melakukan kesalahan. Puih! Dengar katanya:
“ Dalam melakukan pendiskripsian, baik deskripsi fisik maupun daftar jejakan, saya tidak menerima huruf-huruf dari mesin tik rusak hingga kertas kerja kamu berlubang atau tinta hitamnya memenuhi huruf. Lebih-lebih lagi keras kerja yang dipenuhi tip-ex!”.
Sambil berbicara begitu, telunjuk tangan kanannya akan mengacung-ngacung ke atas, sedangkan tangan kirinya diletakkan di belakang. Suaranya tegas menggelegar. Mengesalkan.

Menurut anak-anak angkatan atas, kini Bu Irma lebih santai dibanding masa lalu. Puih! Tetap saja mengesalkan. Itu kata anak-anak. Bagiku itu hal biasa-biasa saja. Soalnya, bapakku lebih gila lagi disiplinya. Lihat saja produknya, jauh darinya, aku jadi selebor berkompensasi. Kalau di depan bapak, mana aku berani!

Kadang aku menikmati kesukahatian, keseleboran, ketidakrapian dan hal-hal yang melanggar benteng-benteng disiplin itu. Tapi tak lama. Dasar-dasar yang ditanamkan bapak ternyata sudah membantu, menyatu dalam jiwa dan terwujud dalam sikap-sikaphidupku.

Seandainya kelak aku jadi dosen, apa boleh buat, sikap Bu Irma mungkin hanya cuillanya saja yang ingin aku tiru. Tehniknya, tugasnya yang selalu membuat mahasiswa terbirit-birit memanfaatkan waktu, dan disiplinnya. Tapi tidak suasana yang ia lahirkan, yang menimbulkan trauma bagi semua mahasiswa yang pernah mengecap sebagian hidup bermasanya: ketegangan. Mungkin aku akan lebih solider, tapi tetatap tegas. Tidak marah-marah. Hm, apa bisa ? orang seperti aku?

Aduh! Tujuh menit lagi jam 6! Aku berlari merebut kamar mandi. Lusi, teman se-kost-ku, tetangga sebelah kamar berputar kelimpungan terbengong-bengong. Dia baru bangun. Aku cengengesan menenteng handuk.

Brak! Uh, kenapa aku tak bisa menahan diri untuk tidak berlama-lama di kamar mandi. Rugi rasanya bila melewatkan waktu bersegar ini cepat-cepat. Aku menikmati setiap busa Zest biru yang harum di atas kulitku. Wanginya memenuhi ruang kecil kamar mandi itu. Kidung yang kunyanyikan tenggelam ditelan suara air yang mengucur dari keran.

Ups! Ajijigrik! Jam besar dirumah induk berdentang keras. Jam 6, nak…cepat…cepat…kataku dalam hati. Lusi yang menunggu di depan pintu kamar mandi tak mau mengambil resiko waktu aku menongolkan kepala. Ia menepi rapat ke tembok rumah induk yang berhadapan dengan kamar mandi. Takut terjadi accident yang tak diinginkan. Aku cengengesan lagi. Wajah bulat itu sungguh lucu dalam ekspresi bangun tidur.

Handuk kugantung sangat rapi di tempatnya. Tempat tidur kurapi kan sekali lagi, hingga tak ada kerut kemerut. Aku memastikan bahwa buku-buku di rak tak ada yang miring atau berdebu. Ya ampun…dalam suasana seperti dikejar setan ini aku masih sempat memikirkan tetek bengek semacam ini. Bawaan lahir ‘kali!

Kamar sudah ku sapu tadi pagi sebelum mandi. Well…sekarang tinggal dandan. Kutaburi badanku dengan purol menthol. Hm…panas menthol itu nyaman sekali rasanya. Sembarangan aku pilih pakaian kesukaanku. Aku tak peduli kombinasinya cocok atau tidak. Namun setelah kukenakan, aku puas sendiri. Aku mematut diri di depan cermin. Tersenyum sendiri.

Untuk yang kedua kalinya aku periksa hasil kerjaku tadi malam. Tugas Bu Irma harus sempurna! Dentang jam berbunyi sekali lagi. Jam 6 lebih 15 menit. Sepatu kukenakan. Kucubit pipi Eka yang masih terbuai dalam mimpi. Teman sekamarku itu menggeliat pelan. Dasar kebo! Masak ia tak terusik sedikitpun atas keributan-keributan yang kutimbulkan sepagi ini.

“Bye, babe…” kataku sambil berlari membuka pintu yang menghubungi daerah ‘kekuasaan ‘ kami dengan taman dan dunia luar. Pintu gerbang dari besi itu sudah tak terkunci lagi, berarti si Pinto sudah bangun. Tugas anak induk semangku yang satu itu memang itu setiap hari, menggembok dan membuka pintu pagar. Aku membuka pagar dengan cepat, menimbulkan derit yang khas.

Tak sampai 5 menit aku sudah sampai di trotoar jalanan yang mulai di penuhi asap knalpot kendaraan yang beseliweran. Ah! T46, segeralah datang….

Vrom…vrom…deru metromini merapat ke trotoar halte. Aku melompat lega. Bus itu penuh anak sekolah. Bangku paling depan, di sebelah supir, kosong. Akumau duduk di situ. Tapi seorang anak laki-laki lebih dulu menyerobot, mengambil kesempatan itu. Yah..aku harus puas bergelantungan seperti kebanyakan orang-orang ini, berhimpit-himpitan, di atas metromini yang berlari liar.

Jalanan sudah macet. Puff! Hilangkan kesempatanku untuk naik kereta pukul 7 kurang 10. Aku harus menunggu kereta berikut, 7 lewat 5 menit. Ah, Bu Irma! Bye…Aku mencari-cari alasan yang tepat agar tugasku nanti dapat diterimanya dengan senyum. Ah…jangan senyum. Tidak berekspresi saja sudah syukur. Tiba-tiba badanku menegang.

Oke! Aku harus berpikir positif agar tidak nervous. Setidak tidaknya aku akan bertemu cowok manis berambut ikal itu pagi ini. Cowok manis yang selalu naik kereta pukul 7 lewat 5. Aku kenal, tidak! Aku tahu cowok ini awalnya karena kami selalu naik dan turun kereta di stasiun yang sama, pada waktu yang sama. Mulai semester ini Fakultas Ekonomi pindah ke Depok. Sejak itu kereta lebih padat dari biasanya.

Biarkan aku bercerita tentang makhluk unik yang memiliki senyum menarik dan gaya yang asik ini. Mulanya aku memperhatikan gaya berpakaian yang sedikit beda di banding anak-anak cowok kebanyakan. Ia selalu memakai kaos dengan warna-warna pastel yang lembut, warna kesukaanku. Kaosnya berkrah. Jarang mengenakan celana jeans. Selama yang kutahu, jeansnya cuma ada dua, warna biru muda dan hitam. Selebihnya ia selalu memakai celana katun yang lembut, berwarna pastel juga. Tas ranselnya berwarna abu-abu dan selalu dikepit di tangan kanannya, tidak disangkutkan di bahu. Sepatu sandalnya berwarna hitam, dari kulit. Tali belakangnya diinjak seenaknya. Langkahnya tegap seperti ABRI, namun dalam gerak yang santai. Rambutnya yang selalu di potong pendek, ikal kemerahan. Sinar matanya tajam menantang. Bentuk hidungnya lucu, tinggi, namun membentuk lekukkan halus yang memberi kesan angkuh. Setiap kali melihat ke arahku, bibirnya berubah datar, membentuk garis bagus, senyum yang ditahan.

Awalnya aku tak peduli bila memperhatikan tingkahnya. Hampir semua anak yang rutin menanti kereta sering kuperhatikan tingkah dan geraknya, namun yang ini istimewa.

Suatu kali aku bercerita pada lupi & the gank. Berbagai rezeki’, ceritanya. Kami cekikikan, ngerumpi’in lirikan-lirikan maut cowok manis ini. Iya! Ia mulai curi-curi pandang. Kadang senyum dan ketawa sendiri, hanya beberapa meter dari kami. Cuma itu. Celoteh anak-anak mulai berkembang biak, menjurus ke hal-hal romantis. Iyalah….apalagi! mereka mulai menjodoh-jodoh kan aku dan cowok yang makin lama makin cute itu.

Aku yang mulanya cuek, diam-diam mulai memperhatikan lebih detil. Kurang ajar! analisa anak-anak benar juga. Aku bukan ada di alam mimpi. Semprul…semprul….senyumnya memang cuma untukku. Ia mulai rajin ke Kansas, kantin sastra, memperluas wawasan. Sialnya, aku tak pernah punya kesempatan atau keberanian lebih. Senyum pun aku tak berani. Aku cukup pemalu untuk melakukan movement; sedang cowok itu, meski tak gentar saling pandang, tetap tak melakukan perkembangan. Alhasil, aku cukup puas bisa melihat senyum manisnya.

Alamak! Tahu sendiri respoon Lupi & the gank.
“Alah, Pay…masak gitu-gitu aja. Cemen, lo, ah…payah! Move..dong, move..mana kegape’an,lo…”

Atau ledakan-ledakan yang ‘kena’ seperti,
“Wih…si Upay bener-bener jatuh cinta! Woi! Upay udah gede ..Upay puber!”

Sial memang; kenapa justru sudah semester lima begini aku baru mikirin makhluk dengan sebutan cowok. Biasanya aku memang mendapat julukan wanita penggoda, maksudnya, suka goda’in cowok-cowok yang suka kegedean rasanya. Tapi cuma sebatas itu. Kali ini…ehm,cuih!

“Pintu…pintu..” kenek kopaja berseragam biru itu berteriak-teriak. Suara lonceng kereta berdentang-dentang. Pintu palang kereta pelan-pelan turun. Jam 7 pagi. Wah..aku melompat turun dari kopaja, berlari ke stasiun. Orang-orang berteriak mengusirku. Tapi aku cuek. Kereta dari arah Manggarai, jurusan kota Bogor sebentar lagi mendekat. Dengan sukses akumenjejakkan kaki di trotoar stasiun Tebet. Kereta sudah berhenti. Penumpang-penumpang berebut naik. Kereta terlambat 10 menit! Alhamdulilah! Di gerbong paling belakang, pada detik-detik terakhir aku lompat masuk. Yes! Pintu kereta tertutup tepat di balik punggungku.

Ah, Bu Irma...here I come!


Blogged on 6:19 PM by Upay

|

~~~

Akusangat letih. Isi kepalaku seperti di aduk-aduk.bermacam-macam cerita tersusun acak-acakan, tak beraturan dan semakin membuatku letih. Kurebahkan sekujur tubuhku di atas pembaringan yang keras dan berlapis kain bergambar taburan bunga-bunga warna warni. Kini. kurasakan pembaringan itu mengikatku kuat, seolah menyerap semua tenagaku. Mataku belum terpejam, mesti lampu kamar sudah kumatikan sejak tadi.Kutarik lampu lampu baca diatas meja di sebelah kananku, Kutekan tombol saklarnya dan melirik jam di sebelahnya. Jam3 pagi! Segera kupejamkan mataku kuat-kuat. Senandung “kissing a fool”nya George Michael pelan-pelan kuikuti. Kubiarkan pikiranku mengembara mengikuti syair-syair lagu itu. Pengaruh obat tidur yang kutelan setengah jam yang lalu mulai terasa .

Pengembaraanku berhenti pada sebuah ruang yang sangat terang. Ruang yang sangat aku kenal, yang mengingatkanku pada masa kecilku. Iya, ini ruang tunggu dokter Azis, dokter yang selalu memberiku permen setelah memeriksa kesehatanku. Keadan ruang itu persis sama seperti 10 tahun yang lalu. Ruang persegi panjang yang cukup luas itu berisi bangku-bangku panjang yang disusun rapat ke dinding.

Kursi kecil dengan meja penuh balok-balok kecil aneka bentuk dan dapat disusun menjadi bangunan-bangunan istana tergeletak diatasnya, masih dipojok kanan. Di situ biasanya aku menghabiskanwaktu sembari menunggu giliran. Di sebelahnya ada rak penuh majalah. Dulu pun aku senang mebolak-balik majalah–majalah itu, membacanya sampai tuntas, meski aku tak mengerti isinya..

Di pojok sebelah kiri, dekat pintu menuju kamar periksa ada meja kayu berpelitur coklat. Di atasnya ada satu rak tempat menyusun file-file pasien. Di belakang meja itu duduk seorang wanita muda dengan mata yang sangat dalam, ada lengkungan hitam di seputar mata itu. Rambut pendeknya yang bergelombang di hiasi bando berwarna coklat. Ia berbaju putih perawat dan asyik mencoret-coret fomulir di depannya, sambil menyebut nama-nama pasien yang mendapat giliran. ia terlihat mondar-mandir dari kamar periksa ke mejanya dan sebaliknya sambil membawa file-file tertentu.

Jam dinding bergambar Donal Bebek yang sedang tersenyum lebar masih tergantung di tembok berwarna krem. Jarum-jarumnya menunjukkan pukul 3. Aku tak tahu, pukul 3 pagi atau sore, sebab hanya ruang itu saja yang terang menderang. Di luar sangat gelap. Terdengar suara dan peluit kereta api, sehingga kusangka aku berada di stasiun kereta. Sebentar kemudian tercium bau amis dan debu ombak terdengar pula. Aku merasakan ada yang aneh, tapi aku tak mengerti apa.

Di atas bangku-bangku yang disusun membentuk huruf L itu duduk orang-orang yang sepertinya aku kenal,tapi aku tak ingat entah aku di mana, atau entah siapa mereka. Ada lelaki setengah baya berambut keriting sangat hitam sedang duduk dengan malas dan meluruskan kakinya ke depan. Wajah lelaki itu seperti mayat, berbibir tipis hingga hampir tak kelihatan,dan bermata cekung, berwarna coklat dan tak bercahaya. Kulitnya yang gelap di tutupi baju kotak-kotak berdasar putih. Kepalanya di sandarkan ke dinding tanpa gerak. Hanya asap yang mengepul dari rokok yang terselip di jarinya saja yang menandakan adanya dinamika pada dirinya.


Di sebelah lelaki tadi duduk seorang pria dengan jas coklat gelap yang sangat tidak cocok dengan warna kulitnya yang berbencak-bencak hitam. Tanganya menyilang di depan perutnya yang buncit, bersepatu coklat mengkilat dengan retakan-retakan yang terlihat jelas pada tekukan jari-jarinya. Pria itu tertidur dengan pulas dan kepalanya terkulai ke kiri.

Di sebelah lelaki yang tertidur itu duduk seorang wanita muda dengan wajah letih dan murung. Matanya merah, Ia sedang menepuk-nepuk punggung seorang anak kecil di pangkuannya, menyelimutinya dan membalurinya dengan balsem. Bau balsem itu memenuhi ruangan. Wanita itu berkalung emas besar yang tergantung di lehernya. Rambutnya kusut dan berwarna hitam kecoklatan. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran.

Anak kecil yang duduk dipangkuanya bertubuh gempal, berumur sekitar 2 tahun, memuntahkan cairan kuning seperti bubur jagung. Wajahnya memerah, sementara matanya yang kecil itu berair. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, kecuali dencingan gelang emas yang bergoyang-goyang di tangan sebelah kirinya. Ibunya dengan sibuk dan panik segera membersihkan semua kotoran-kotoran yang bececer di lantai dan bajunya.

Aku merasa wajahku sedingin es. Angin kencang dari luar yang berbau amis laut itu menggoyang-goyang tirai jendela. Aku tak mengerti mengapa aku ada disitu, bersama orang-orang aneh yang sepertinya aku kenal, tapi entah kapan dan di mana. Kalau pun ruang itu benar ruang tunggu dokter Azis, siapa orang aneh-aneh ini? Pasien- pasiennya? Tidak mungkin. Dokter azis adalah dokter sepesialis anak, dan kabar terakhir yang aku dengar tentangnya adalah bahwa ia telah menutup prakteknya beberapa tahun lalu. Aku merinding.

Tiba-tiba tirai pintu penghubung kamar periksa dan ruang tunggu yang bermotif batang-batang bamboo hijau tersingkap. Aku melihat Pinto menyeruak masuk. Terkembang senyum di wajah lelaki muda itu, senyum paling lebar yang pernah aku lihat. Aku menghempas nafas lega akhirnya aku menemui orang-orang yang benar-benar aku kenal. Pinto memakai kaos biru muda berulis POLO di depannya. Wajah nya penuh keringat. Dia tak memakai kacamata yang biasanya dikenakannya, sehingga aku melihat bola matanya yang hitam dan tajam. Dia mendekat padaku, sangat dekat, hingga aku dapat mencium bau tubuhnya dan bisa melihat denyut nadi di pelipisnya. Semakin dekat, senyum lebarnya semakin hilang, berubah menjadi senyum bengis. Aku tak pernah melihat pencaran kebencian seperti itu sebelumnya. Ia seakan datang ingin mencekikku.

Aku merasa seolah –olah jantungku akan melompat keluar dari rongga dadaku. Aku tak bisa bernafas. Wajah Pinto mengerut dan tiba-tiba berubah menjadi wajah bapak. Lidahku seperti tergigit karena kagetnya. Wajah itu tua dan sedih. Sinar matanya yang kelabu itu redup, tanpa kehidupan.

Kini semua mata yang ada di ruang itu lantang dan tajam mengarah ke mataku. Dadaku seperti ditindih, sesak dan perih. Prang! Suara kaca pecah berlanjut gelindingan beling membangunkanku. Semua wajah–wajah itu hilang, berganti sepotong wajah yang sangat kukenal. Eka, teman sekamarku, berdiri kaku di pojok tempat tidurku. Matanya ketakutan, tangannya menutup mulutnya yang terbuka. “Maaf…,” katanya lirih dan terburu membereskan pecahan gelas di lantai.

Aku beristighfar berulang kali. Anehnya, aku merasa sangat lega Tak pernah rasanya aku sebahagia ini melihat orang ketakutan seperti itu. Aku menyumpahi pikiranku yang kotor itu.

Jam dinding kamarku menunjukkan 5 pagi. Aku bergegas membasuh wajah dan tubuhku dengan air dingin. Wudhu dan sholat subuh dengan segera. Dalam khusyukku aku berjanji akan segera menelepon bapak. Akan kukatakan padanya, bahwa aku sangat mencintainya, bahwa aku rindu padanya.


30 september 1993


Blogged on 6:08 PM by Upay

|

~~~

RUANG 635

Aku terengah-engah menaiki tangga demi tangga di gedung 6. Tak lama, kudapati diriku ada di lantai 3 sekarang. Di lantai ini pastilah ruang kuliah itu, pikirku. Ada beberapa ruang yang masing-masing bernomor awal 63 dengan kertas jadwal berlaminating tertempel di pintu. Ruang-ruang itu mengelilingi tangga. Semua pintu yang terbuat dari kayu berwarna coklat itu tertutup. Tak ada suara yang kudengar selain langkah-langkah kaki dan hembusan nafasku sendiri. Aku diam sejenak mengamati ruang demi ruang dari tempatku berdiri.

Di sisi sebelah kiri kulihat pintu kayu bernomor 635 sedikit terbuka. Lamat mulai kudengar suara seorang laki-laki menerangkan sesuatu. Itu pasti suara dosen. Dengan segera kudorong pintu perlahan. Suara gerit pintu menandakan bahwa engselnya perlu diminyaki. Lalu kulongokkan kepalaku ke dalam ruangan yang kira- kira berukuran 4 kali 5 meter. Lantainya terbuat dari marmer berwarna coklat. Meski tidak ada kotoran- kotoran berarti diatasnya, debu-debu yang menempel memastikan bahwa ruangan itu belum dibersihkan.

Dinding di hadapanku terbuat dari bata coklat yang menonjolkan bentuknya yang persegi panjang. Di atas bata -bata itu ada jendela kaca sorong berwarna gelap yang dibuka sebagian agar udara luar dapat masuk. Di balik tembok itu ada teras yang dibatasi tembok bata lain yang serupa dengan tinggi hampir mencapai atap ruang itu. Dari situ cahaya dari luar dapat masuk, juga terlihat atap gedung 5 dan 7 . Daun – daun pohon palem bergoyang-goyang diterpa angin.

Disebrang kanan terdapat tembok dengan jendela kaca sorong yang sedikit terbuka, teras, dan tembok dibelakangnya yang serupa dengan yang kulihat sebelumnya.

Dinding sebelah kiri dan kananku terbuat dari tripleks bercat putih. Disebelah kiri tertempel alat pengatur kipas angin yang berfungsi menghidup dan mematikan serta mengatur kecepatan kipas angin yang ada dilangit –langit. Alat pemutarnya sudah hilang.

Diruang itu ada bangku-bangku kuliah dari kayu berwarna coklat. Sederetan bangku-bangku memenuhi baris paling belakang. Pada bangku ketiga dari kiri duduk seorang gadis berbaju ungu,celana panjang hitam dan berjilbab sedang asyik menulis. Di bangku sebelah kanannya teronggok tas ransel berwarna hitam dengan ikatan penutup yang sedikit terbuka.

Di pojok ruang, masih dideret yang sama, seorang mahasiswa berkaos putih, bercelana jens dan berambut panjang sedang memandang kedepan, kearah dosen, dengan sunguh-sungguh. Barisan didepanya hanya terdiri dari beberapa bangku yang jumlahnya tidak lebih banyak dari bangku dibelakangnya. Seorang mahasiswa duduk diantara dua orang mahasiswi. Bajunya berkaos putih bermotif etnis dengan celana yang hampir pudar warnanya. Rambutnya pendek. Tangannya sedang membolak balik kertas di hadapannya. Gadis di sebelah kiri mahasiswa itu berambut panjang, keriting dan terikat ke belakang. Gadis itu sedang mempermainkan tali tas batik kecil sambil mendengarkan ocehan dosen yang duduk tepat di depannya dengan seksama. Gadis di sebelah kanan berambut lurus tergerai dijepit ke belakang. Bajunya hitam dengan kulot hitam batik. Ia memangku wajahnya dengan sebelah tangan. Seperti yang lain, dia juga asyik mendengar ocehan dosen itu.
Dosen itu duduk dipojok kanan ruang yang terbatas jendela kaca sorong, di atas kursi hitam dan kelihatan empuk sambil menaikan satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain. Jenggot dan kacamata tebal coklatnya memberi ciri yang khas dan kesan bahwa ia seorang yang konvensional. Dilihat dari perawakannya ia sudah tak muda lagi. Kemeja krem yang dipakainya berlengan pendek, celana coklat dengan ikat pinggang hitam dan bersepatu sendal. Sambil terus berbicara, ia mengepul-ngepulkan asap dari pipa yang diisapnya. Asap berbau tembakau itu memenuhi ruangan dan menyesakkan dada. Kalau bukan mahasiwa , aku pasti sudah menumpah-nyumpah.

Di depannya ada meja kayu berwarna coklat. Diatas meja itu, di pojok kiri depan ada segelas teh berlepek dan diberi tutup stainlessteel. Isi nya masih penuh. Disamping kanan gelas itu ada spidol untuk whiteboard berwarna biru dan penghapus yang digeletakkan terbalik hingga busa penghapusnya yang sudah hitam menghadap keatas. Tak jauh dari situ ada map biru. Map absen, aku kira.

Sejenak suasana jadi hening. Tidak ada suara galau kelas lain kecuali suara derak kipas angin dan decit-decit halus pertanda ada sedikit kerusakan pada kipas itu.

Wajah-wajah yang tak satu pun aku kenal itu kini mengarah kepadaku. Tatapan mata mereka menujukkan bahwa kehadiranku menggangu suasana. Segera kusadari bahwa aku salah masuk ruangan. Dengan terburu dan gugup kucap kata maaf. Aku segera berbalik dan menghambur menuruni tangga. Sial! Kusesali diriku yang tak menyadari pentingnya fungsi kertas berlaminating yang tertempel di tiap pintu tadi.





Blogged on 2:18 AM by Upay

|

~~~

T R E S N O

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Suara yang riuh rendah tadi pelan-pelan menjadi hening. Pembawa acara yang ada di podium itu seorang gadis, rambutnya pendek. Wajahnya dimajukan sedikit ke depan agar bisa mencapai mikrofon yang ada di depanya. Meski tidak istimewa, dengan lancar ia membacakan urutan acara dengan sesekali melihat ke catatan kecil di tangan kirinya. Ia memakai jaket almamater, jaket kuning, sama seperti semua panitia acara diskusi itu.

Ruangan di gedung empat itu agak dingin dibanding ruangan diluar. Aku menyilangkan tanganku didepan dada. Duduk di deret nomor 4 di sisi sebelah kanan. Paling pinggir. Disisi kiriku berdiri tegak mikrofon unyuk perserta. Aku sengaja duduk disitu, ingin memperhatikan air muka mereka-mereka yang akan berbicara di situ secra jelas. Ingin melihat kegrogian, serta lutut dan tangan yang gemetar. Aku ingin melihat letupan-letupan emosi itu close-up. Aku tak tahu kegilaan macam itu. Hal itu rasanya lebih lebih mengasyikkan dari pada menanti pembicara pertama yang belum datang.

Para pembicara, moderator, dan notulen sudah duduk di depan.dua orang mahasiswa peserta diskusi yang terlambat baru masuk. Aku tak memperhatikan laki-laki keriting yang mengenakan baju kaos bergaris-garis. Yang kuperhatikan adalah temannya. Lelaki dengan senyum yang menarik. Rasanya aku kenal dia. Iya! Lelaki berkaos putih, bercelana blue jeans yang sudah memutih warnanya. Gayanya santai dan tak bisa dibilang rapi. Ia bersepatu sendal kulit bewarna coklat. Tali belakang sendal itu diinjak seenaknya. Aku kenal gaya itu. Aku kenal betul. Lelaki itu jangkung, mungkin karena itu langkahnya agak terbungkuk –bungkuk. Ia selalu tersenyum lebar, matanya mengedar ke sekeliling ruang, mellihat mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah duduk. Rambutnya yang lurus dibiarkan panjang melewati kuping. Masih seperti dulu. Ia mengambil tempat duduk satu deret di depanku,di sisi sebelah kiri. Tangan kirinya mengepit tas kanvas yang sewarna dengan celananya. Tali tas itu mengalir mengulur ke lantai, tersangkut di salah satu bangku. Ia tersenyum sendiri.Aku suka sekali senyum itu

Pidato pembukaan dari orang-orang yang berwenang berganti -gantian. Aku tak tertarik samasekali. Pandangku terpaku pada lelaki itu . Mencoba mengingat-ingat namanya. Namun tak berhasil. Karena panasaran, aku mengirim notes beranting kepada temanku yang duduk di samping kanan, asyik mengobrol dengannya. “Wan! Cowok disamping elo itu, anak Hukum yah.. thanx!

Iwan celigukkan mencari sumber notes itu. Aku melambaikan tangan. Dengan tersenyum lucu, Iwan menggangukkan kepalanya.

Aku ingat dua tahun tiga bulan yang silam. Waktu itu aku masih mahasiswa baru di universitas ini. Bulan agustus 1991, seperti tahun sebelumnya adalah bulan-bulan penataran P-4. Aku dan teman-temanku mendapat jatah ditatar di gugus 5, yaitu di Fakultas Hukum. Bagiku penataran itu, meski kadang membosankan, amatlah mengasyikkan. Pada jam-jam istirahat makan siang dan sholat dzuhur, aku dan Inggrid, sahabatku waktu itu, selalu mengambil tempat di bangku yang sama di depan kantin. Disitulah aku pertama kali melihat laki-laki itu. Senyumnya yang ramah membuat aku betah. Waktu itu ia mahasiswa fakultas Hukum semester kelima, sama seperti aku sekarang. Ia bukan panitia, tapi tiap-tiap hari dia ada disitu. Aku sendiri tak pernah menanyakan apa kegiatannya. Mungkin iseng; atau memang ada yang sedang ia kerjakan. Entahlah. Aku tak peduli.

Sejak awal jumpa, ia selalu bercerita tentang lelucon-lelucon yang lucu, namun pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Ia juga tidak keberatan atau menolak makan siang bersama. Aku selalu membagi bagianku dengannya. Aku pikir, ia pasti anak kost, atau paling tidak, tidak ada yang memperhatikan dirinya dengan baik. Bajunya tidak kusut, tapi tidak pernah rapi. Celana panjangnya selalu kotor dan menggantung, tidak sesuai dengan kakinya yang panjang. Ia selalu bersepatu kets kotor dengan kaos kaki yang warnanya tak pernah terkombinasi dengan baik dengan celana atau sepatunya. Rambutnya pun rasanya cuma disisir dengan jari-jari tangan. Diam-diam Inggrid selalu mengomentari kelucuan- kelucuan itu, terlebih keanehan dandanannya. Kami sama-sama cekikikan.

Selain di depan kantin, pada saat makan siang, kadang aku berjumpa dengannya di warung, di seberang rel kereta, di depan fakultas hukum, di sebelah tempat foto kopi. Ia selalu mengumbar senyum dan memanggilku untuk mampir bergabung dengannya. Seringkali aku enggan, sebab semua orang di warung, itu adalah anak laki-laki. Kalau sudah begitu, ia hanya tersenyum, membiarkanku di tempat fotokopi. Setelah pekerjaan yang rutin kulakukan selama penataran maupun beberapa hari sesudahnya itu selesai, barulah ia berjalan beriringan denganku. Tertawa- tawa dan ngobrol ngalor ngidul seperti biasa.

Entah mengapa, aku suka sekali padanya. Pada senyumnya, pada apa adanya. Ia tak pernah sungkan mengajakku ke tempat kostnya di Kukusan. Tapi aku tak pernah ke sana. Aku pikir itu tawaran basa- basi. Aku pun tak pernah mengungkapkan rasa sukaku pada siapa pun,bahkan pada diri sendiri. Aku pikir itu hanya kejadian momental. Aku pikir, perasaan itu hadir berlebihan. Aku tak mau berpikir yang aneh –aneh. Aku tak ingin ditertawai atau menertawakan diri sendiri. Tidak pada saat ini. Namun aku tak pernah lupa caranya mengupas pisang pemberiaanku, kaus kakinya, senyumnya yang lucu dan juga manis, tawanya yang renyah, semuanya.



Kadang aku ingin sekali ke kampusnya. Ingin ngobrol-ngobrol seperti dulu. Tapi aku sungkan. Aku tak memiliki keperluan selain itu. Aku malu sendiri dan akhirnya memendam semua keinginan itu, hingga aku sendiri lupa.

Kini ia ada di sini. Masih seperti yang dulu. Duduknya masih seenaknya, meski dalam pertemuan semi formal seperti ini. Aku pikir ia sudah wisuda atau paling tidak sedang menyusun skripsi sekarang. Aku tak tahu.

Babak tanya-jawab dan tanggapan dimulai. Peserta- peserta yang ingin bertanya atau sekedar mengemukakan pandangannya bergilir menuju mikrofon di sampingku. Lelaki itu, seperti perserta yang lain, pun memandang antusias kepada mereka yang sedang berbicara di situ. Sekali ia melihat ke arahku. Senyumnya ada, tapi rasanya bukan khusus untukku. Pandangan matanya pun, seolah tak mengenalku. Mungkin ia ingat sedikit, seperti kesan pertamaku tadi, tapi ia segera melupakannya. Diskusi ini memang menarik. Mungkin. Hal ini agak meingankan rasa hatiku yang tiba- tiba kecewa. Aku sengaja memandang kearahnya., waktu ia memamerkan senyumnya. Kali ini, senyum itu untukku. Tapi cuma itu. Aku tersenyum pahit dan buru-buru mengubur cerita lalu. Namun, masih ada tersisa sedikit harapan untuk menemuinya nanti, setelah acara ini selesai.

Pada babak-babak terakhir, akhirnya aku ingat namanya, yang disebutnya dengan lembut, tanpa emosi dan dengan aksen kental Jawa.
“Saya Trisno, dari fakultas Hukum. Saya ingin meminta pendapat Bapak…”

Aku berjalan keluar ruangan. Acara belum sepenuhnya usai, mungkin dua tiga menit lagi. Waktu Dzuhur sudah datang dari tadi. Aku tak mau mengambil resiko terlambat menghadapNya. Begitu ku kembali, ruang diskusi itu telah kosong tak berpenghuni. Cuma mimbar yang kusut dan serakan kertas sisa catatan-catatan kecil moderator. Hampa.



Blogged on 1:04 AM by Upay

|

~~~

Sunday, May 30, 2004

SORE

Pukul lima sore, aku duduk dia atas kursi kayu di ruang yang disediakan khusus bagi pengunjung kompleks sekolah Muhammadiyah. Meski begitu, tempat itu tidak terlarang bagi siapa saja untuk duduk, entah itu sekedar mengobrol sambil menikmati es buah segar yang mangkal beberapa meter di sebelah kiri luar pagar, atau hanya duduk melamun. Ruang tanpa dinding itu berukuran 2 kali 3 meter dengan lantai dari semen. Lantai itu kotor dengan pembungkus- pembungkus makanan yang mengundang lalat- lalat berpesta. Ada dua buah bangku kayu dicat hijau yang sudah mulai mengelupas catnya. Bangku yang aku duduki, juga terbuat, dari kayu, dicat coklat muda, dan dihiasi kayu yang disilangkan tiap satu meter.

Di sebelah kiri ruang tunggu itu, terdapat posko kecil berukuran 1 kali 1 meter dengan bangku dan meja yang menyatu dengan dinding setinggi 1 meter lebih. Duduk disitu seorang lelaki berseragam satpam, asyik berbincang dengan salah seorang perkerja di sekolah itu. Di tangan pekerja itu ada sapu lidi bergagang kayu panjang dan sebuah serokkan sampah dari plastik.

Di hadapanku terbentang lapangan basket berdasar bata beton. Angin yang berdesir- desir lembut memutar dan mempermainkan daun-daun angsana yang gugur serta kertas-kertas yang beserakan. Panas mentari tidak seterik siang tadi. Anak-anak madrasah dengan seragam celana panjang hijau tua dan baju putih lengan panjang, lelaki dan perempuan, yang perempuan memakai jilbab, tampak berlari sambil tertawa-tawa atau berjalan sambil iseng mempermainkan jilbab temannya menuju ke kelas masing-masing. Mereka baru selesai sholat Ashar berjamaah di mesjid Ar-Rahman yang terletak di sebelah gedung sekolah.

Gedung sekolah berbentuk angkare tak sempurna atau mirip huruf L terbalik di depanku itu berlantai tiga. Seluruh temboknya di cat krem. Tiap lantai terdiri dari kelas-kelas yang diisi bergantian. Pada pagi hari, di lantai dasar kelas-kelas itu diisi oleh anak SD sampai pukul 12 siang, sore hari barulah diisi oleh anak- anak madrasah. Sedang disebelah kanannya, yang dibatasi pagar dan lapangan bermain, pagi hari disi anak –anak TK mulai pukul 10 sampai pukul 12 siang. Mulai pukul 4 sore, kelas-kelas itu penuh lagi dengan anak-anak TK Al-qur’an sampai pukul 5 lebih 30 menit. Di lantai kedua dan ketiga yang pada pagi hari tadi diisi oleh anak-anak SD, kini dihuni oleh anak-anak SMA.

Suara bel dengan irama tertentu menandakan jam terakhir sore ini dimulai. Anak-anal madrasah yang baru ke kelasnya tadi, kini terlihat berhambur keluar,memenuhi lapangan dan berebut masuk ke mobil sekolah yang khusus disediakan untuk mengantar dan menjemput mereka Suara, teriakan dan tawa mereka riuh rendah bercampur deru mesin mobil yang beriringan keluar dari kompleks.

Beberapa menit kemudian, suasana hening kembali. Kini yang terdengar adalah germerisik sapu lidi yang dipakai pekerja kebersihan. Angin yang bertiup kadang kuat kadang lemah mempermainkan sampah yang berserakan dan mengayun - ayun daun-daun akasia dan angsana mengelilingi masjid. Rumbai –rumbai berbentuk bendera merah putih, sisa 17 Agustusan, yang sudah mulai pudar warnanya karena lama tergantung di sepanjang tembok gedung, melambai-lambai.

Bermacam–macam mobil pribadi penjemput mulai masuk, berjajar-jajar memenuhi pinggiran jalan raya dan tepi–tepi lapangan basket. Lelaki yang berseragam satpam itu mulai sibuk dengan peluit di, mulutnya, nyaring berteriak mengatur lalulintas di kompleks itu. Ibu-ibu maupun wanita – wanita muda penjemput anak- anak Tk mulai ramai bergabung bersama denganku di ruang tunggu. Tak lama kemudian masing-masing menyongsong keluar, memanggil- manggil nama anak yang dijemputnya atau segera menarik lengan mereka menuju ke kendaraan masing-masing.

Pada menit-menit berikut, bel panjang bebunyi menandakan usainya kegiatan sore itu. Terdengar teriak riuh rendah kegirangan dari lantai dua dan tiga. Anak-anak berseragam putih abu-abu mulai berkeliaran, menuruni tangga-tangga berlantai marmer. Ada yang berjalan santai, berceloteh, bergerombol atau berpasang-pasangan, berlarian, saling melempar bola-bola kertas sambil tertawa–tawa mengotori lapangan yang baru disapu tadi, ada juga yang jalan sendirian.

Mataku mulai sibuk mencari sosok yang kutunggu sejak tadi di kerumunan. Lelaki muda berseragam putih abu-abu itu tampak mengembangkan senyumnya dan berjalan ke arahku. Aku membalas senyum itu. Dia kemudian duduk di sampingku, sambil bercerita tentang kejadian-kejadian yang mengasikkan sore itu, tentang guru yang marah-marah,tentang temanya yang sakit dan juga cerita-cerita lucu yang di dapat nya hari itu.

Mobil-mobil penjemput sudah berkurang. Lapangan itu nampak lengang. Suara riuh rendah pun mulai hilang, berganti dengan suara-suara orang mengaji lewat mikrofon. Suasana sore itu bertambah gelap. Angin yang berdesir-desir membuat tubuhku sedikit ke dinginan. Nampaknya hujan akan turun sebentar lagi. Langit di penuhi awan –awan gelap yang bertautan. Tak lama kemudian azan maghrib berkumandang. Orang-orang berbondong-bondong ke tempat wudhu. Di luar, lambat laun mulai gelap. Kompleks itu kini diterangi neon-neon.








Blogged on 9:25 PM by Upay

|

~~~

THERE IS ANOTHER WAY


Udara pagi yang dingin mulai disiram mentari. Jam 7 pagi.
Aku berhenti di setasiun kereta Tebet, seperti pagi-pagi sebelumnya. Pada jam-jam begini, apalagi pada hari-hari ketika sebagian besar anak-anak sekolah maupun mahasiswa menikmati liburan akhir tahunnya, jalan-jalan berubah menjadi sedikit lengang. Termasuk Stasiun Tebet.

Akhir Desember yang penuh hujan ini membuat tanah- tanah basah. Hanya beberapa mahasiswa yang membaca diktat, atau membahas soal-soal ujian yang kira-kira keluar nanti. Duduk diatas bangku-bangku biru atau berdiri, sambil mengobrol atau tertawa-tawa. Menghilangkan ketegangan. Mungkin jumlah hanya 12 sampai 15 orang. Biasanya bisa sampai 50-an anak atau lebih. Aku satu diantaranya.

Orang- orang yang duduk maupun berdiri dan bercakap-cakap disitu sebagian besar sudah aku kenal. Iya, kenal wajah doang. Aku biasanya mengisi waktu 5 menit menunggu kereta dengan membaca. Membaca apa saja yang aku anggap perlu untuk dibaca, yang menarik maupun yang tidak. Tak jarang aku memperhatikan tingkah pola para penunggu yang lain. Ini merupakan keasyikan tersendiri. Dan aku menikmatinya.

Kereta berjalan 5 menit. Bocah- bocah berpeci dengan seragam pesantren anu atau madrasah apa dengan menjijing kotak kayu mulai membaca pidatonya, mahir mengucap kalimat-kalimat dalam bahasa Arab. Berbaur dengan suara anak- anak yang menawarkan koran atau majalah. Intinya, mereka mengharapkan uluran tangan para penumpang, dengan menyumbang dana bagi pembangunan masjid, pesantren atau apalah.

Aku tak pernah sedikit pun berapriori dengan kegiatan ini. Cuma saja, keadaan ini membawaku kembali ke masa lalu. Saat aku masih seumur bocah- bocah ini.

Sebagai salah satu angota pramuka, waktu itu, aku dan teman-temanku sering membutuhkan banyak dana bagi kegiatan-kegiatan kami. Untuk minta ke orang tua, merupakan hal yang memalukan bagi kami. Alhasil, kita berupaya nyari duit sendiri

He’eh! Kita apa kerja apa saja, asal halal. Aku sempat membongkar isi gudang, menjual koran- koran maupun majalah bekas ke warung-warung. Atau menjaga toko kakakku di hari liburdengan upah yang lumayan. Tak jarang kami menawarkan diri mengecat pagar atau membersihkan kebun-kebun orang. Semua itu diorganisasi dengan baik. Ada anak yang bertugas mendatangi rumah-rumah (biasanya rumah- rumah orang berada) untuk menawarkan jasa dan bernegoisasi, yang lain adalah perkerja-perkeja lapangannya.

Bekal ilmu yang kami dapat dari latihan kepramukaan menjadi modal yang sangat berharga. Membuat orang-orang percaya dengan kemampuan kami. Terang saja, kami berkerja dengan disiplin yang baik dan bertanggung jawab. Pada saat-saat tertentu, pameran misalnya, wira usaha dimulai lebih giat. Kami menjual tanaman- tanaman yang kami cangkok dan pelihara sendiri, atau hewan- hewan peliharaan seperti ayam dan ikan hias dengan mutu tinggi. Semua ini dikerjakan secara rutin di waktu luang. Yang memiliki ketrampilan di bidang kerajinan tak kalah kreatifnya dengan membuat bangku-bangku aneka bentuk yang lucu-lucu dan bermanfaat. Atau apa saja, pokoknya bisa dijual dan menghasilkan uang berkah buat kegiatan kami yang lain.
Hasilnya? Kami tak pernah merasa harus repot-repot kekurangan dan. Percaya diri dan rasa tanggung jawab kami timbul. Pelajaran-pelajaran berharga lahir bersama sikap mental yang konstruktif.

Aku kembali memandang wajah bocah-bocah kecil itu. Mereka mengeluarkan kotak-kotak kayu yang selama ini dijinjingnya ke penumpang-penumpang sambil menyanyi lagu-lagu Qasidah. Ada berapa orang yang memasukkan recehan kedalam kotak itu,namun banyak juga yang mengacuhkan. Aku getir memandangnya.

Bocah-bocah penjual koran maupun makanan-makanan kecil besliweran menawarkan dagangan mereka. Melihat semangat mereka bekerja menimbulkan rasa kagum tersendiri bagiku. Mengapa anak-anak berpeci itu tidak melakukan hal yang sama seperti mereka ? Atau kegiatan yang mirip dengan yang kami lakukan dulu.

Mungkin pengobanannya lebih berat. Namun rasanya, waktu itu kami sangat puas dan bangga melakukannya. Harga diri kami tumbuh sebagai orang yang mampu berjuang tanpa harus menunggu bantuan orang lain.

Ya, mengapa kita kita tak memberi pelajaran yang sama kepada yang lain. Alternatif yang rasanya, lebih berbobot dari sekedar meminta sumbangan.



Blogged on 8:57 PM by Upay

|

~~~

Friday, May 28, 2004

Panji masih dalam keadaan marah ketika tiba di depan rumah di tengah hutan itu. Peluhnya bercucuran, membasahi baju dan topi kePangeranannya. Wajahnya letih, tapi air mukanya keras menahan dendam. Seharian ini ia dan pengawal-pengawalnya letih berpacu masuk kedalam hutan, mengejar seorang anak muda yang telah membunuh anaknya. Matanya liar memandang rumah tinggi terbuat dari balok-balok kayu hutan yang keras dan kuat.

Duduk di anak tangga seorang anak muda yang sedang mengelus-elus ayam jago yang gagah. Ayam itu berkokok nyaring dan menegakkan kepalanya melihat orang-orang yang datang. Bulu-bulunya yang halus berkilat-kilat indah mengikuti gerak tubuhnya. Anak muda itu mendongakkan kepalanya. Wajahnya menyimpan rasa takut, tapi langkahnya tegap, seperti seorang satria, menuruni tangga dan membungkuk hormat kepada Panji.

Panji memandang kearah anak muda itu dengan tajam. Diamatinya sosok bertelanjang dada itu dengan cermat. Tiba-tiba ia merasakan dadanya berdegup kencang, eantah mengapa. Ia tergetar ketika memperhatikan cara anak muda itu memandangnya. Garis rahang yang keras namun membentuk lekuk yang lembut, rambut ikalnya yang tergerai sebahu, yang ditutupi sehelai kain tenun bermotif indah yang telah buram warnanya, alis yang tebal bergaris tegas, juga mata bulat yang jernih milik anak muda itu mengingatkan Panji pada seseorang. Seseorang yang sangat dia cintai sepanjang hidupnya, seorang wanita yang tegar, cerdas, dan berhati lembut. Istrinya yang pernah hilang.

Ia ingat suatu malam purnama yang cerah, saat berlangsung pesta bahagia memperingati bulan kedua masa kehamilan istrinya, Sekartaji. Putri kediri itu disebut juga Raden Galuh atau Dewi Candra Kirana. Malam itu adalah saat yang bahagia. Semua orang bersuka cita dan mensyukuri rahmat itu, sampai saatnya Panji menyadari bahwa Sekartaji telah hilang dari kamarnya.

Tak seorang pun dapat menemukannya kembali. Tak seorang pun tahu kemana dan mengapa putri cantik itu meninggalkan istana dan suami yang mencintainya. Panji merasa merasa sangat kehilangan dan tertekan. Tak ada yang dapat menghibur, kecuali kembalinya Sekartaji.

Dipandanginya kembali anak muda yang sebaya dengan anaknya itu dengan lebih sesakma. Pandangnya berubah lembut, keletihannya sirna. Ada sesuatu yang lain pada diri anak muda yang tampan ini, pikir Panji.

Anak muda itu berdiri tegak. Caranya berdiri yang kokoh mengingatkan Panji pada dirinya sendiri. Ia menanyakan nama anak muda itu.

“Panji Kelaras, Yang Mulia.” jawabnya tegas penuh hormat. Panji Kudanarwangsa terperangah tak percaya. Ia kembali ingat kata-kata istrinya waktu itu; bila anaknya yang akan lahir itu laki-laki, akan diberi nama Panji Kelaras. Keyakinan dan keraguannya bercampur aduk, saling perang di dalam pikirannya.

Dari dalam rumah keluar seorang wanita anggun dengan pakaian sederhana. Wanita itu, meski sudah tidak muda lagi, masih kelihatan cantik. Kehidupan hutan tidak memudarkan kharismanya. Wanita itukelihatan panik melihat keramaian yang tidak biasa di sekitarnya. Ia menyongsong anaknya, mencoba melindungi anak muda itu.

Kali ini Panji tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia meyakinkan dirinya bahwa wanita itu adalah istrinya! Istrinya yang asli. Panji mendekati wanita itu dengan segera, ia tak dapat lagi menahan perasaan rindunya.

Wanita itu memandangi Panji sesaat. Mencoba mengingat masa lalu yang pelan–pelan berkelebatan di benaknya. Ketika Panji memanggilnya dengan sebutan Sekartaji, wanita itu tersentak. Ia merasa bahwa sekartaji itu memang namanya.

Belasan tahun yang silam, saat Sekartaji terluka dan tak ingat siapa dirinya, seorang pertapa tua datang menolongnya. Pertapa itu memanggilnya dengan sebutan putri. Mungkin karena pakaian bagus yang dikenakan, atau karena wajahnya yang elok dan geraknya yang lembut. Pertapa tua yang baik itu mengatakan bahwa ia berjalan sambil tertidur di tengah malam buta, menyusuri hutan dan kepalanya terbentur pohon hingga terluka. Tak ada yang dapat di ingatnya lagi kecuali sebuah kata, yang selalu disebut-sebutnya: Panji. Pertapa itu mengajak Sekartaji tinggal bersamanya sebagai anak. Ia menamakanya Limaran. Beberapa bulan kemudiaan, ia melahirkan seorang bayi lelaki yang tampan. Pertapa itu menghadiahinya seekor anak ayam jantan yang gagah.

Setelah melihat Panji, mendengar nama lamanya disebut, wanita itu kemudiaan ingat kembali masa lalu dan riwayat hidupnya yang telah terlupa sekian lama. Tak terasa air mata mengalir di pipinya yang merah. Rasa haru dan gembira membawanya menghambur kedada Panji.

Lalu siapa wanita yang selama ini mengaku sebagai Sekartaji? Dan putra yang dilahirkanya, Pangeran Buta, anak siapa ? ketika Sekartaji hilang, seorang wanita yang juga sedang mengandung 2 bulan mendatangi kerajaan. Ia mengaku sebagai Sekartaji dan telah berubah wajahnya karena ulah tukang sihir. Wanita itu berkata bila Panji percaya padanya, wajahnya lambat laun akan berubah kembali seperti sedia kala. Karena sangat mencintai Sekartaji dan berkat kelihaian wanita itu, Panji percaya, dan menganggapnya seperti Sekartaji yang asli.

Hingga bayi lelakinya lahir, wanita itu tidak pernah berubah rupa. Hal itu mulai menimbulkan keraguan di hati Panji. Di tambah lagi dengan rupa dan perilaku bayi yang dilahirkan tidak sedikit pun menunjukkan kemiripannya dengan Panji atau Sekartaji yang dulu. Panji tak dapat berbuat hal yang berarti kecuali hanya berserah diri. Ia tentu tak mau ada cerita buruk atau sekandal yang merendahkan martabat dan kepercayaan orang padanya.

Anak lelaki itu dipanggil Pangeran Buta. Dari kecil hingga dewasa, perilaku Pangeran Buta sangat berlainan dengan Panji. Anak itu tidak tampan, tidak pula pintar. Bagaimana pun juga Panji tetap menyayanginya dan menganggapnya sebagai anaknya.

Suatu kali, Pangeran Buta yang gemar mengadu ayam merasa tersaingi oleh kepopuleran dan kehebatan ayam jago Panji Kelaras. Ia menawarkan taruhan yang tinggi jumlahnya, yang tak mungkin dapat dipenuhi Panji. Bila Panji tidak melayaninya, ayam jago itu akan menjadi milik Pangeran Buta. Panji yang merasa tidak memiliki pilihan lain, menawarkan kepalanya sebagai taruhan, bila ayam jagonya kalah.

Seperti yang sebelumnya, sekali gempur ayam Pangeran Buta terkapar. Hal itu membuat Pangeran buta merasa terhina. Ia mengacungkan belatinya,dan menentang Panji Kelaras berkelahi. Tanpa dapat mengelak, Panji akhirnya melayani tantangan Pangeran Buta. Pangeran itu kalah, kerisnya sendiri yang menikam dadanya. Menyadari bahwa ia telah membunuh seorang Pangeran, Panji berlari pulang, menemui ibunya dan menceritakan apa yang telah terjadi.

Suasana kerajaan geggap gempita. Raja Janggala, Dewa kusuma dan permaisuri Wandansari merasakan suka cita yang sama. Mereka mengadakan pesta besar. Seluruh rakyat bergembira atas kembalinya sang putri yang cantik dan berhati mulia beserta putranya. Hanya seorang saja yang merasa susah atas kejadian itu. Dialah putri Ngurawan Ni Wadal kardi, yang mengaku diri sebagai Sekartaji. Hatinya hancur karena kematiaan anaknya, juga pedih karena kedoknya terungkap sudah. Tak tahan menanggung malu dan sakit, Wadal Kardi ditemukan bunuh diri di kamarnya.

Tak lama kemudian, Panji Kudanarawangsa dinobatkan sebagai raja. Mereka sekeluarga hidup bahagia di istana.



Blogged on 3:00 AM by Upay

|

~~~